Melihat Indonesia Di Dalam Bilik Pesantren

Senin, 17 Agustus 2015 0 komentar
Ada satu hal yang wajib dikerjakan bagi seluruh pel
jar di Indonesia setiap tanggal 17 bulan Agustus, yaitu mengibarkan bendera “merah-putih” yang diiringi dengan lagu “Indonesia Raya”. Tidak terkecuali kami, pelajar yang oleh masyarakat umum disebut “santri”.  Pelajar dengan makanan seadanya, berpeci hitam, baju yang lecek, jauh dari orang tua, mungkin karena hal itulah kata pesantren terdengar kampungan dan menyeramkan. Sebagian orang juga punya pandangan yang sedikit menggelitik tentang alumnus pesantren, menurut mereka alumni pesantren hanya terbagi dua jenis, kalau bukan nakalnya keterlaluan ya baiknya keterlaluan. Namun satu hal yang sedikit orang tau, mungkin tidak semua santri khatam Qur’an atau faseh berbahasa Arab, tapi semua santri telah mengerti “Bhineka Tunggal Ika”. 
Saat ini adalah tahun pertamaku dan kawan-kawan santri lainnya merayakan hari kemerdekaan Bangsa Indonesia di dalam pondok pesantren, kami semua berasal dari latar belakang budaya berbeda tak terkecuali bahasa, yang saat ini harus menyanyikan lagu yang sama dengan nada yang sama. “Nada! perkara nada bukanlah hal yang patut dipikirkan saat ini, karena kami memiliki masalah yang sangat mendasar, yaitu cara pengucapan kata yang berbeda. 
Aku sebagai seorang yang lahir dari suku Bugis, selalu menambahkan “NG” pada kata yang diakhiri dengan huruf “N”  dan menghilangkan huruf “G” pada kata yang berakhiran huruf “NG”, seperti : MakaNG ikaNG jam sembilaNG di rumahnya iwaNG meskipuNG tidak ada uaN karena gaji pas-pasaNG, aaahh setaNG!. Aku bukanlah satu-satunya orang yang bermasalah dengan huruf “NG”, kawanku dari Yogyakarta juga menghadapi masalah yang sama, bedanya dia selalu menempatkan hufur “NG” di depan pada kalimat yang di awali dengan huruf hidup “NGiri = Kiri, NGanan= kanan, NGanu, NGuenak dst. 
Kawan-kawan yang lain bukan tanpa masalah, pengucapan kawanku dari kawasan paling Timur Indonesia yaitu Papua terdengar benar dan jelas, tapi suaranya terlalu keras, seperti seorang yang sedang marah, meskipun sebenarnya tidak. Berbanding terbalik kawanku yang berasal dari Sukabumi, suaranya terlalu pelan dan lambat, yang saat bersamaan juga bertolak belakang dengan kawanku dari Ternate tutur katanya terlalu cepat keluar dari mulutnya. Sedangkan kawan dari Padang terlalu banyak menggunakan huruf “O” pada kalimatnya, sementara kawanku orang dayak, seperti ada koma di atas setiap kalimat, seperti- ao’.
Kami semua sebagai satu kelompok, berlatih secara otodidak, hanya beberapa saat sebelum pengibaran bendera merah putih.
“NGIndonesia Raya! kesalahan pertama dilakukan oleh kawan dari Yogyakarta.
“Merdeka-merdeka”, kesalahan kedua dari kawan Ternateku, hampir tidak ada jeda diantara kata ulang merdeka.
Bersamaan dengan kesalahan yang dilakukan oleh Asep, setelah kata ulang merdeka seperti ada tanda tanya, sehingga terdengar seperti “merdeka-merdeka? Sementara Yoga berucap “merdeko”, kawan dari Papu sejak awal seperti sedang berteriak.
Sampai saat ini aku masih aman, meskipun tanpa nada tapi sejauh ini pengucapan masih betul, “BanguNGlah jiwanya BanguNGlah badaNGnya”, akhirnya giliranku melakukan kesalahan. 
Rasanya mustahil menyanyikan lagu “Indonesia Raya” dengan nada yang sama, apabila pengucapan kata saja saling berbeda. Puluhan kali kami mencoba, puluhan kali juga kami melakukan kesalahan, kami saling mengoreksi kesalahan kami masing-masing sebagai seorang individu yang tak sempurna tanpa menngeneralisasikan kesalahan itu pada suku dan daerah asal kami, karena menyalahkan daerah, sama saja menyalahkan nenek moyang, nenek moyang yang puluhan tahun lalu sama-sama menderita, nenek moyang yang dahulu kala memiliki mimpi yang sama yaitu “merdeka”. Setiap orang yang melakukan kesalahan ditegur dengan santun, diajak berdiskusi, saling mendengar tanpa memfitnah. Karena menyanyikan lagu “Indonesia Raya” diperlukan kesatuan gerak, kesatuan gerak diproleh dari kesepahaman, dan kesepahaman didapatkan dari musyawarah bukan melalui debat. Lagu Indonesia Raya dibuat oleh seorang yang berpikiran cerdas, lagu yang dapat dinyanyikan oleh semua pemilik pita suara, entah pita suara mengeluarkan suara yang merdu atau suara yang kurang merdu, oleh semua suku yang ada di”Zamrud Khatulistiwa” ini, untuk menyanyikannya kita hanya perlu semangat persatuan.
Bendera telah siap dikibarkan, kami semua mampu mengirinngi sang saka merah putih di puncak tiang dengan lagu “Indonesia Raya”, lagu yang dinyanyikan oleh pemilik pita suara yang berbeda dengan keanekaragaman budaya dan bahasa yang berbeda, berkibar menantang langit, seolah pembenar semboyan “Bhineka Tunggal Ika” itu nyata di Republik ini, penegas ayat Tuhan yang berbunyi “Perbedaan adalah Rahmat”.

Dibuat di Indonesia saat pembangunan yang tidak merata dengan ego kedaerahan memuncak, semua orang berteriak menyuarakan protes mengabaikan kesantunan dan sebagian lain menutup telinga, yang mayoritas jumawa dan minoritas tidak mampu bersauara, orang bodoh terus mengoceh, orang alim tak mau ambil pusing.

0 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 Iyunk | TNB