JALAN PANJANG REVOLUSI AGRARIA

Minggu, 04 Oktober 2015 0 komentar
Dalam pidato Soekarno pada HUT RI berjudul ‘Laksana Malaikat Yang dari langit, Jalan Revolusi Kita”, sebagai langkah awal “menemukan kembali Revolusi”, maka hal utama yang perlu dilakukan perombakan adalah masalah pertanahan, yang saat itu masih tunduk pada agrarische wet yang sangat memihak kepententingan colonial dan feodal, dan bertolak belakang dengan hukum adat. Dalam pidato tersebut Bung Karno menempatkan golongan petani dan buruh sebagi soko guru revolusi di bidang pertanahan, dengan slogan-slogannya yang terkenal adalah “tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan,” tanah untuk mereka yang benar-benar menggarap tanah”, dan yang paling mengemuka adalah “Revolusi Indonesia tanpa Land Reform adalah omong kosong besar!” Seruan melakukan revolusi itu secara tidak langsung merupaka pernyataan perang terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang diuntungkan dengan Agarische wet, yaitu pengusaha asing dan pemilik tanah feodal. Tak pelak seruan revolusi ini menimbulkan “perang saudara”, yang kemudian berujung pada peristiwa G 30 S PKI, pergulatan itu kemudian berlanjut pada Reformasi 1998, hingga akhirnya saat ini (Era Presiden Jokowi).
Awal kemerdekaa paling tidak terdapat tiga kelompok besar yang terlibat langsung dalam reformasi agraia, yaitu tentara pengusaha, kelompok feodal, kalangan Kiyai dan PKI (Partai Komunis Indonesia). Pertama, transformasi Pengusaha Asing menjadi Pengusaha Tentara. Kedua, merujuk pada tanah-tanah swaparaja yang diberikan kepada kepala desa (atas nama pribadi) dengan luas tanah yang berlebih oleh Belanda, serta raja-raja yang menetapkan kepemilikan atas tanah yang dikuasainya. Ketiga, Kalangan Kiyai. Keempat, PKI sendiri hadir dengan menggalang kekuatan akar rumput, dengan mengandalkan kekuatan orang-orang yang paling tertindas (petani penggarap atau buruh) menjadi kekuatan yang berbahaya, paham anarkisme yang sangat dangkal yang banyak membayangi kelompok ini, menyebabkan gerakan politik PKI menjadi kacau.

Revolusi Agraria Gagal!

Pada awalnya nasionalisasi asset-aset asing mengandalkan kekuatan militer, utamanya di bidang perkebunan, singkat cerita upaya nasionalisasi tersebut menempatkan kalangan militer sebagi pemimpin baru perusahaan perkebunan. Sementara gerakan awal land reform yang dijalankan (bahkan telah dimulai sebelum disahkannya UUPA), yaitu pengambil alihan tanah terhadapa indvidu-indvidu yang memiliki luas tanah berlebih. Sampai disini terlihat bahwa, kalangan feodal adalah hal pertama yang akan dilibas oleh reformasi agraria. Tentunya kelompok ini tidak tinggal diam, mereka membangun sekutu dengan pengusaha tentara yang juga memiliki kekuatan politik, pengusaha, dan bersenjata, yang kita ketahui akan menjelma menjadi kekuatan berbahaya, serta sukses melakukan “kudeta merangkak.”
Sedangkan kalangan akar rumput terdiri dari dua kubu yaitu petani, penggarap dan buruh yang akan dimobilisasi oleh PKI serta Para Kiyai. Ketika kedua kubu ini bergabung, tentunya kekuatan revolusi agraria menjadi sangat besar, dan akan menjadi penyokong suksesnya revolusi agraria, namun seperti yang kita ketahui, keuda kubu ini tidak mungkin bersatu, karena tidak adanya titik temu dari keduanya, komunikasi politik untuk saling memahami pergerakan tidak pernah terjadi, sehingga mustahil utuk berjalan beriringan.
Pandangan sebagian Kiyai yang menyatakan komunis adalah gerakan kontra agama, sebuah kelompok yang tidak mempercayai Tuhan, dengan berpatokan pada perkataan Karl Marx “Agama adalah Candu”, yang juga diteruskan oleh penerusnya Nietzhsche yang mengatakan “Tuhan telah mati.” Perkataan keras Karl Marx dalam mengkritik kalangan Sufi Rusia (ulama dan pendeta) yang selalu menghabiskan waktu untuk berdoa, dan tidak menyisakan waktu untuk bertindak nyata melawan penindasan yang terjadi saat itu, justru disalah artikan oleh kalangan agama, yang kemudian menimbulkan pandangan negatif bagi kelompok komunis sebagai “atheis.”
Sementara kalangan komunis selalu memandang para Kiyai adalah salah satu jenis kelompok foedal tanpa memahami konsep pesntren, mereka disamakan dengan “Sir” di Inggris yang memiliki banyak tanah, sebagai lawan dari program pemberian tanah untuk petani, menyebabkan konflik antara petani para Kiyai denga petani biasa. Mayoritas kelompok komunis sendiri senantiasa mengartikan konsep anarkisme dengan sangat dangkal, dan cenderung terburu-buru, gerakan perampasan tanah melalui jalan anarkis terjadi di mana-mana bahkan berujung pada pembunuhan pemilik tanah, termasuk tanah-tanah luas atas nama para Kiyai, tak pelak para Kiyai kemudian berdiri bersama kelompok feodal dan pengusaha tentara melawan komunis.
Usaha revolusi agraria belum berjalan sepenuhnya, baru sampai pada pembagian tanah, sementara perkebunan tetap manjadi milik negara yang kewenangan pengelolaannya didelegasikan pada perusahaan tertentu, “Kudeta Merangkak” Soeharto berjalan dengan lancar, Soekarno dipaksa turun, kebijakan revolusi agraria berhenti seketika, hutan menjadi milik negara sepenuhnya (bahkan dalam UU Kehutanan, sama sekali tidak memperhatikan UUPA), Masyarakat Hukum Adat dipaksa meninggalkan hutan, yang kemudian diambil alih oleh negara. Keran investasi dibuka lebar, pertambangan asing tumbuh setiap daerah, Indonesia dengan pertumbuhan ekonomi menjadi “Macan Asia Sementara”, kemudian ikut larut dalam krisis ekonomi berkepanjangan. Setelah seluruh minyak bumi sudah dieksploitasi negar-negara barat (yang paling mengemuka adalah perpnjangan Hak Pengelolaan PT. Freeport). UUPA sebagi satu-satunya produk hukum nasional terkubur dalam setumpuk kebijakan Orde Baru yang kontra-revolusi.

Bangkitnya Revolusi Agraria

Gerakan reformasi sukses menggulingkan kekuasaan orde baru selama 32 tahun, bak kelanjutan sebagai babak baru gerakan revolusi agraria, tuntutan pembaruan Agraria kembali digaungkan oleh para akademisi maupun aktvis. Hababie yang naik menggantikan Soeharto, kemudian menunjuk Muladi (Guru Besar Hukum, Universitas Diponegoro) sebagai menteri kehakiman, kemudian Muladi mengangkat Maria SW Sumardjono sebagai sebuah ketua Tim Pelaksana untuk melaksanakan a) sebuah studi mengenai hukum dan peraturan terkait mengenai landreform; b) studi kebijakan dan perundang-undangan terkait land reform; dan c) menyusun dan menformulasikan kebijakan dan peraturan yang diperlukan untuk melaksanakn land reform. Untuk pertama kalinya juga land reform ditruangkan dalam dokumen presiden. Maria SW Sumardjono kemudian mengahsilkan rekomendasi untuk meninjau kembali peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya agraria yang dihasilkan oleh orde baru karena banyak yang kontradiksi dengan UUPA.
Sebelum rekomendasi dapat dijalankan, Habibie digantikan oleh Abdurrahman Wahid, adalah Ryas Rasyid penggagas otonomi daerah yang saat itu menjabat Menteri Dalam Negeri yang kemudian menyepelehkan masalah reformasi agraria dengan menghapuskan BPN, yang kemudian menyerahkan kewenangan pertanahan pada  menjadi urusan pemerintah daerah. Di era Megawati BPN kembali dihidupkan, perhatian terhadap pembaharuan agraria kemabali disuarakan, peran Maria SW Sumardjono kembali menjadi kunci mengalirkan ide reformasi agraria, menginat dia adalah staf MPR dari PDIP yang memiliki suara mayoritas saat itu.
Sampai sekarang pembahasan pembaruan agraria belum juga dapat berjalan lancar, perkebunan dan kehutanan masih seakan berdiri sendri, hal ini tentunya terdapat campur tangan pengusaha yang selalu mencari celah keamanan eksploitasi hutan. BPN berjalan sendiri, demikian juga halnya dengan Kementerian Kehutanan.
Saat ini era Jokowi sedang menggalangkan percepatan ekonomi, perundang-undangan dibuat untuk mendukung program investasi, akibatnya muncul beberapa perundang-udangan yang saling tidak harmonis maupun sistematis karena cenderung reaktif untuk mencari jalan tengah pembaruan agraria dan program investasi, seperti salah satunya antara PMNA No. 9 Tahun 2015 dalam kaitannya dengan UUPA, dan Permendagri No. 52 Tahun 2014 berkaitain dengan hak ulayat. Apakah Revolusi Panjang Agraria kembali terhambat?

0 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 Iyunk | TNB