ANAK MUDA REBUTAN JABATAN
Melihat
jumlah generasi 90-an yang mengenyam pendidikan maupun kualitas hidup di
Indonesia, istilah generasi emas menyeruak ke publik yang diperkirakan muncul
di sekitaran tahun 2020. Dalam benak saya generasi emas yang dimaksud adalah
peneliti, aktivis kritis seperti Dhandy Laksono, pengusaha atau industri
kreatif lainnya. Tapi kecenderungannya
sungguh melebihi ekspektasi, anak muda bertarung di kancah politik, calon Kepala
Daerah dan Calon Legislatif, hal ini merupakan lompatan besar, bahkan
“menyalahi” siklus normal, yang harusnya “menyelesaikan diri sendiri” dulu
kemudian mem
Panggung
perdebatan berkualitas masih didominasi oleh aktivis 98, sebagian anak-anak
muda kelahiran 90-an sedang asyik mainan bigo,
mobile legend, atau berpelesiran
keluar negeri demi outfit beromzet
ratusan juta. Ya! hanya mereka yang “sadar” saja! dilihat dari tagline kampanye dengan bahasa seperti
koran Lampu Merah atau iklan rumah makan, jelas kecenderungan ini sepenuhnya
kesadaran, bukan karena sadar di “DPR ada
rebutan proyek” atau “sejak seleksi
PNS menggunakan sistem CAT, “orang dalam” kehilangan taji loh ya!” Mesti
berperasangka baik, ingatlah Tuhan tidak menguji hamba-Nya di luar kemampuan
kita. Berperasangka baik!
Lebih mengharukan ketika sebagian diantara
mereka justru tampil sebagai pemenang, ya meskipun pada akhirnya berakhir di
Penjara, karena Korupsi atau Narkoba. Berikut kecenderungan yang mendorong
anak-anak muda luar biasa ini bertarung dikancah politik.
Pertama, “Di dalam darahnya
mengalir darah pemimpin”, ini adalah bukti keseriusan golongan ini melestarikan
kebudayaan, seperti kata-kata mutiara sisa-sisa abad pertengahan tersebut.
Seakan-akan Tuhan menciptakan manusia tidak hanya bersuku-suku,
berbangsa-bangsa, tapi juga kelompok birokrasi dan masyarakat biasa. Karena
kecintaan ini maka di daerah-daerah berlomba-lomba untuk membangun “Politik
Dinasti”, kemungkinan menangnya besar, tinggal panggil Kepala Kecamatan, Kepala
Kelurahan, Kepala Sekolah, Kepala Dinas, dan Kepala-Kepala lainnya. Kedua, anak gaul, modal teman
tongkrongan ada dimana-mana, dari café ke café, warkop ke warkop berani maju,
biasanya mereka pun memiliki darah “pemimpin” ya sayangnya terputus karena satu
dan lain hal atau mereka anak dari pejabat-pejabat eselon di bawah Kepala
Daerah. Keranjingan nongkrong menyebabkan mereka banyak menyerap aspirasi
masyarakat, misalnya untuk membedakan kaos supreme asli atau KW, sungguh mulia
hati mereka.
Ketiga, Ya, kecenderungan
masyarakat desa sekarang membanggakan anaknya yang rajin demonstrasi, meskipun
ya, tidak seru-seru amat, misalnya protes kenaikan SPP. Tentang keyakinan,
mereka lebih fleksibel, tangan kanan megang pengeras suara teriak “Anti
Kapitalis” tangan kiri megang coca cola,
celana wrangler beli di toko barang
bekas, sepatu converse punya junior. Keempat adalah Preman sekaligus mantan Tim Sukses dari tokoh yang lebih mayor, modalnya retorika modal nguping Pejabat selama ngawal...
Pada
akhirnya memilih dan dipilih adalah hak politik, tapi merasai (menakar diri)
adalah pilihan hidup, dalam jabatan publik anda berhadapan dengan hak-hak asasi
manusia………
0 komentar:
Posting Komentar