ANAK MUDA REBUTAN JABATAN

Minggu, 05 Agustus 2018 0 komentar

ANAK MUDA REBUTAN JABATAN
Melihat jumlah generasi 90-an yang mengenyam pendidikan maupun kualitas hidup di Indonesia, istilah generasi emas menyeruak ke publik yang diperkirakan muncul di sekitaran tahun 2020. Dalam benak saya generasi emas yang dimaksud adalah peneliti, aktivis kritis seperti Dhandy Laksono, pengusaha atau industri kreatif lainnya. Tapi  kecenderungannya sungguh melebihi ekspektasi, anak muda bertarung di kancah politik, calon Kepala Daerah dan Calon Legislatif, hal ini merupakan lompatan besar, bahkan “menyalahi” siklus normal, yang harusnya “menyelesaikan diri sendiri” dulu kemudian mem
egang jabatan publik, akibatnya rantai pemuda kritis terputus pada Budiman Sudjatmiko, Andi Arif, Adian, Fahri Hamzah, Fadli…. *eh maaf, tidak termasuk ya.. dan lainnya, termasuk mereka yang terpaksa “dihilangkan”, seperti Wiji Tukul atau yang wafat seperti Arif Rahman.
Panggung perdebatan berkualitas masih didominasi oleh aktivis 98, sebagian anak-anak muda kelahiran 90-an sedang asyik mainan bigo, mobile legend, atau berpelesiran keluar negeri demi outfit beromzet ratusan juta. Ya! hanya mereka yang “sadar” saja! dilihat dari tagline kampanye dengan bahasa seperti koran Lampu Merah atau iklan rumah makan, jelas kecenderungan ini sepenuhnya kesadaran, bukan karena sadar di “DPR ada rebutan proyek” atau “sejak seleksi PNS menggunakan sistem CAT, “orang dalam” kehilangan taji loh ya!” Mesti berperasangka baik, ingatlah Tuhan tidak menguji hamba-Nya di luar kemampuan kita. Berperasangka baik!
 Lebih mengharukan ketika sebagian diantara mereka justru tampil sebagai pemenang, ya meskipun pada akhirnya berakhir di Penjara, karena Korupsi atau Narkoba. Berikut kecenderungan yang mendorong anak-anak muda luar biasa ini bertarung dikancah politik.
Pertama, “Di dalam darahnya mengalir darah pemimpin”, ini adalah bukti keseriusan golongan ini melestarikan kebudayaan, seperti kata-kata mutiara sisa-sisa abad pertengahan tersebut. Seakan-akan Tuhan menciptakan manusia tidak hanya bersuku-suku, berbangsa-bangsa, tapi juga kelompok birokrasi dan masyarakat biasa. Karena kecintaan ini maka di daerah-daerah berlomba-lomba untuk membangun “Politik Dinasti”, kemungkinan menangnya besar, tinggal panggil Kepala Kecamatan, Kepala Kelurahan, Kepala Sekolah, Kepala Dinas, dan Kepala-Kepala lainnya. Kedua, anak gaul, modal teman tongkrongan ada dimana-mana, dari café ke café, warkop ke warkop berani maju, biasanya mereka pun memiliki darah “pemimpin” ya sayangnya terputus karena satu dan lain hal atau mereka anak dari pejabat-pejabat eselon di bawah Kepala Daerah. Keranjingan nongkrong menyebabkan mereka banyak menyerap aspirasi masyarakat, misalnya untuk membedakan kaos supreme asli atau KW, sungguh mulia hati mereka.
Ketiga, Ya, kecenderungan masyarakat desa sekarang membanggakan anaknya yang rajin demonstrasi, meskipun ya, tidak seru-seru amat, misalnya protes kenaikan SPP. Tentang keyakinan, mereka lebih fleksibel, tangan kanan megang pengeras suara teriak “Anti Kapitalis” tangan kiri megang coca cola, celana wrangler beli di toko barang bekas, sepatu converse punya junior. Keempat adalah Preman sekaligus mantan Tim Sukses dari tokoh yang lebih mayor, modalnya retorika modal nguping Pejabat selama ngawal...
Pada akhirnya memilih dan dipilih adalah hak politik, tapi merasai (menakar diri) adalah pilihan hidup, dalam jabatan publik anda berhadapan dengan hak-hak asasi manusia………




0 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 Iyunk | TNB