Hubungan Hukum, Negara, dan Kekuasaan

Sabtu, 30 November 2013 0 komentar


Hubungan Hukum, Negara, dan Kekuasaan
oleh
Fakhrisya Zalili Sailan, S.H
            Hukum, negara dan kekuasaan adalah tiga hal yang tidak dapat terpisahkan. Berbicara tentang negara, kita berbicara tentang organisasi kekuasaan, sehingga hukum pun erat sekali hubungannya dengan kekuasaan. Salah seorang di antara berpendapat bahwa negara mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari pada huukum adalah Puchta, murid seorang pemikir terkenal di bidang hukum yang bernnama Friedrick Von Savigny. Savigny berpendapat bahwa hukum tumbuh bersama pertumbuhan bangsa (rakyat), menjadi kuat bersama dengan kekuatan bangsa dan akhirnya mati ( punah ). Pandangan pputcha ini senada dengan theodor Geiger, yang menelaah hukum melalui teori—teori sosiologi. Geiger berpendapat bahkan satu-satunya hukum yang berlaku adalah hukum yang berasal dari negara.
             Krabbe berpendapat, rakyat mntaati peraturan negara bukan karena paksaan (oleh kekuasaan) negara, tetapi karena mereka memiliki kesadaran hukum rakyatlah yang merupakan suumber kekuasaan negara. Dengan demikian negara bukanlah pemegan kedaulatann tertinggi karena negarapun juga harus tuundukk kepada hukum. Jadi dalam menjalankan kebijakksanaan, negara terikat pada norma-norma keadilan. Teori kedaulatan hukum inilah yang menjiwai prinsip negara dan hukum. Nagara hukum dalam arti sempit, yakkni negara dan hukum liberal, ditandai dengan dua ciri :
  1. Adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.
  2. Pemisah kekuasaan, antara kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif
Teori kedaulatan rakyat ini menyatakan bahwa negara terbentuk karena sekelompok manusia yang semula hidup sendiri-sendiri dan mengadakan perjanjian untuk membentuk suatu badan yang di serahi kekuasaan menyelenggarakan ketertiban dalam masyarakat. Jadu bila masyarakat tunduk kepada pemerintah, sebenarnya masyarakat tunduk kepada kemauannya sendiri / kemauan umum. Dengan kata lain, pemerintah diberi kekuasaan oleh rakyat yang berdaulat itu, dan pemerintah melakukan itu atas nama rakyat. Tokoh : Rousseau, John Locke, MontesquieuTeori kedaulatan negara mengatakan bahwa negara terjadi karena kodrat alam, demikian pula kekuasaan yang ada. Karena itu kedaulatan dia anggap ada sejak adanya/lahirnya negara. Sehingga, negaralah yang di anggap sumber kedaulatan. Hukum ada karena dikehendaki negara, oleh karena itu negara tidak dapat dibatasi hukum karena hukum adalah hasil buatan negara sendiri. Tokoh : Jellineck, paul laband.[2]
            Hens Kelsen, yang mencoba untuk menyusun suatu teori murni tentang hukum, menolak pandangan dualisme terhadap negara dan hukum. Menurut pendapatnya hukum dan negara adalahh identik, karena negara lain dari pada sistem sikap tindak manusia dan ketaatan dari paksaan sosial. Ketaatan pemaksa ini tidak beda dengan tata hukum, karena dalam masyarakat hnya ada satu, dan bukan dua ketaatan pemaksa yang sah pada satu waktu. Jadi negara lebih tinggi dari pada hukum, karena bila demikian berarti pendewaan terhadap negara dan hukum tidak lebih tinggi dari negara, seperti pendapat aliran huukum alam yang di tentang oleh Kalsen. dalam makalah ini kami banyak membahas tentang hubungan hukum, negara dan kekuasaan berdasarkan teori hukum murni, oleh karena pandangan Hans kelsendisamping menurut para pakar hukum lainnya, karena menurut kami, upaya penghapusan dualisme antara Negara dan Hukum dengan melepaskan teorinya dari penedekatan historis dan sosiologis tanpa menafikan adanya hubungan antara hukum dan keduanya justru mampu menjawab bagaiamana kedaulatan hukum, yang sehrusnya. Lebih daripada itu sebagaimana yang kita lihat nanti bahwa perkembangan pemeikiran negara hukum sekarang ini semakin mendekati ajaran teori hukum murni yang dikonsentrasikan pada fungsi hukum sebagai alat perubahan sosial bukan justru hukum yang tertatih mengikuti perubahan. Salah satu penemuan besar Hans Kelsen adalah pikiran tentang perlunya pengadilan yang khusus mengadili jika terjadi kontradiksi antara peraturan perundang-undangan dengan Undang-Undang dasar yang sekarang dikenal dengan Mahkamah Konstitusi yang merupakan penemuan penting dalam khasanah Ilmu Hukum dalam bidang Tata Negara,
Untuk menenmukan garis penghubung dalam rangka mengupas hubungan hukum, kekuasaan dan Negara, sebelumnya perlu di pahami dengan apa yang dimaksud dengan Tatanan Sosial dan Tatanan hukum. 
1.      Tatanan Hukum Sebagai Tatanan Sosial  Yang Bersifat Memaksa
Menurut Hans Kelsan Tatanan sosial adalah hubungan prilaku antara inidvidu yang satu dengan individu yang lain serta hunbungannya dengan binatang, tanaman, dan benda-benda mati yang ada di sekitarnya, fungsi dari tatanan sosial ini adalah menghadirkan prilaku tertentu dari individu tertentu  untuk mematuhi tatanan sosial ini, untuk memotivasi mereka agar menghentikan tindakan yang di anggap merugikan “secara sosial”, yakni merupakan individu lain, dan agar melakukan tindakan yang dianggap berguana bagi masyarakat, sedangkan tatanan hukum adalah sebuah tatanan yang mengatur prilaku manusia, tatanan hukum dapat dilihat dari bagaimana orang bertindak sesuai dengan sistem hukum yang dianut dalam tatanan sosial.[3] tatanan sosial selalu menerapkan reaksi terhadap suatu tindakan yang merugikan masyarakat, terdapat dua jenis sanksi dalam tatanan sosial, yaitu sanksi trasedental dan sanksi secara sosial, sanksi trasedental adalah sanksi yang menurut keyakinan individu berasal dari otoritas yang ghaib, contohnya pada masyarakat primitif kekeringan yang menyebabkan kelaparan yang berkepanjangan adalah sanksi dari dewi kesuburan karena manusia telah bertindak salah memanfaatkan tanahnya, sebaliknya jika tatanan sosial tersebut mendapatkan keberuntungan hasil panen melimpah, maka perlu diadakan upacara persembahan terhadap sesuatu yang mereka anggap sebagai penyebabnya. Sanksi dalam tatanan sosial sendiri diterapkan berdasarkan kesepakatan tentang pelaksanaan dan prosedur penerapan sanksi, sanksi yang paling primitif yang kita kenal adalah “dendam berdarah” yang diterapkan dalam hukum primitif atau yang biasa kita sebut sebagai hukum rimba, namun sanksi secara sosial inilah yang kemudian menjadi dasar pemikiran hukum modern yang sekarang ini, penerapan sanksi secara sosial lah yang membeirkan bentuk dasar dari tatanan sosial sebagai tatanan hukum, dengan demikian hubungan antara tatanan sosial dan tatanan hukum dapat dibahasakan”tatanan hukum merupakan bagian dari tatanan sosial, namun pada zaman modern ini hampir tidak ada satupun tatanan sosial yang tidak membentuk tatanan hukum”.
Para pemikir hukum telah melakukan rekosntruksi dari hukum primitif yang kemudian menghasilakn hukum modern seperti yang kita pahami sekarang ini, suatu tatanan yang menghendaki keteraturan tidak hanya itu, hukum juga merupakan alat perubahan untuk menuju kesejahteraan. Ketika tatanan sosial menghendaki suatu keteraturan dalam komunitasnya maka tatanan sosial tersebut akan membuat kesepakatan mengenai sistem hukum yang akan dijalankan. Dalam suatu tatanan sosial kita menemukan norma-norma sebagai norma dasar pembentuk tatanan itu, dibedakan 4 macam norma, yaitu :
1.      Norma agama;
2.         Norma kesusilaan;
3.         Norma kesopanan;
4.         Norma hukum.[4]
Norma agama adalah peraturan hidup yang diterima sebagai perintah, larangan, dan anjuran yang berasal dari Tuhan untuk kepentingan diri dan harta pribadinya, sanksi dalam norma agama di laksanakan pada kehidupan yang akan di alam akhirat, meskipun juga ada pemahaman terhadap “karma” atau sanksi di dunia yang tidak ditangguhkan sampai ke akhirat, contoh dari norma agama adalah :
a.         Jangan berbuat Riba’ barang siapa yang berbuat Riba’ akan dimasukkan ke dalam neraka untuk selama-lamanya (Al-Qur’an : Surat Al-Baqarah : 275)
b.      Hormatilah orang tuamu, agar kau selamat (Kitab Injil Perjanjian Lama : Ulangan)
Norma kesusilaan ialah peraturan hidup yang tumbuh sebagai suara hati sanubari manusia. Norma kesopanan adalah norma yang tumbuh dari pergaulan masyarakat, norma hukum adalah norma yang tumbuh dalam sistem hukum. Keefektifan suatu norma dapat dilihat apakah suatu norma dipatuhi oleh tatanan masyarakat yang tunduk pada norma-norma tersebut. Untuk menjamin keefektifan norma diperlukan sanksi pada tiap pelanggaran, pelanggaran norma agama di ancam dengan hukuman dari Tuhan, dan hukuman itu berlaku kelak di akhirat, pelanggaran norma kesusilaan mengakibatkan perasaan cemas dan kesal hati, dan pelanggaran norma kesopanan mengakibatkan celaan  atau pengasingan dari lingkungan. Hukuman semacam ini tidak berlaku bagi orang yang tidak mempedulikan agama kesusilaan dan kesopanan, umunya ketiga norma itu juga tidak mengatut, misalnya bahwa orang-orang yang berrjalan di jalan raya harus berjalan di seblah kiri. Oleh karena itu norma agama, norma kesusialaan, dan norma kesopanan tidak cukup memberikan jaminan hukum untuk dipatuhi, oleh karena itu norma hukum diperlukan untuk mengatur apa yang tidak diatur oleh ketiga norma tersebut (ketuhanan, kesusilaan, kesopanan) dan orang yang tidak peduli terhadap ke tiga norma tersebut. Berdasarkan penjelasan tersbut maka yang membedakan norma hukum dan norma lainnya adalah tatanan pemaksa.
2.      Negara Sebagai Personifikasi Dari Hukum
Negara dipahami dengan istilah hukum, tidak lebih dan tidak kurang daripada hukum itu sendiri, hukum sebagai persoalan ideal adalah sebuah sistem, dan karena itu menjadi objek kognisi hukum normatif, sedangkan hukum sebagai tindakan – baik dimotivasi dan memotivasi, baik psikologis maupun fisik – adalah kekuasaan, kekuasaan hukum, dan sebagai objek penyelidikan psikologi sosial dan sosiologi.[5] Lebih lanjut menurut Hans Kelsen Identitas Negara dan tatanan hokum dapat dilihat dengan jelas dari fakta bahwa para sosiolog pun menyebut Negara sebagai sebuah masyarakat yang diorganisasikan “secara politik”. Karena masyarakat dibentuk oleh organisasi karena masyarakat sebagai suatu kesatuan dibentuk oleh organisasi, maka lebih tepat untuk mendifiniskan Negara sebagai “organisasi politik”. Organisasi adalah sebuah tatanan. Letak karakter polittik dari tatanan sosial ini letaknya terdapat pada fakta  bahwa tatanan ini merupakan tatanan pemaksa. Negara merupakan organisasi politik karena merupakan tatanan yang mengatur penggunaan paksaan .  Negara adalah suatu masyarakat yang diorganisasikan secara politik karena Negara merupakan sebuah komunitas yang dibentuk oleh suatu tatanan yang bersifat tatanan pemaksa, dan tatanan tersebut adalah tatanan hukum.[6]
            Untuk menjelaskan hubungan antara Negara dan hukum kami analogikan  dengan pertanyaan : “yang mana terlebih dahulu antara Negara dan konstitusi?, menjawab pertanyaan ini menurut kami, antara Negara dan konstitusi tidak bisa diindentifikasi dengan membdakan keduanya sebagai sesuat yang berbeda, tetapi lebih pada  hubungn kausalitas (sebab-akibat), dimana yang satu merupakan akibat mutlak dari sebab. Negara merupakan personifikasi dari hukum, sama seperti jika kita mendefiniskan manusia dikatakan manusia karena hati nurani dan akal pikirannya, Negara adalah manusia, dan hukum adalah hati nurani dalam analogi ini. Jadi konstitusi adalah norma dasar yang dibentuk berdasarkan kesepakatan seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa tatanan hukum adalah tatanan yang membentuk sistem hukum berdsarkan kesepakatan, yang dituangkan dalam konstitusi sebagai norma dasar, karena pada prinsipnya tatanan sosial yang didalamnya ada tatanan hukum mesti di bentuk berdasarkan norma dasar. Oleh karena itu berdasarkan dari dua pendapat ahli dan argumentasi kami di atas, kami menarik kesimpulan bahwa  Negara adalah Personifikasi dari Tatanan Hukum.
Negara sebagai personifikasi dari hukum, semakin jelas ketika kita membahas elemen pembentuk Negara, yaitu warga Negara, wilayah Negara, dan kekuasaan. Penduduk Negara adalah manusia yang berasal dari Negara itu, jika ditanyakan mengapa seorang individu bersama individu lain tunduk pada tatanan pemaksa tertentu , maka tidak ada alasan lain yang bias ditemukan kecuali bahwa dia dan individu tunduk pada tatanan pemaksa tertentu. Wilayah Negara merupakan ruang khusus yang dibatasi. Ia bukanlah belahan permukaan bumi yang dibatasi, melainkan ruang tiga dimensi yang mencakup ruang di bawah tanah dan ruang di atas tanah yang dinamakan batas tapal Negara, yang dibatasi oleh territorial Negara lain atau wilayah internasional, dimana wilayah itu merupakan lingkup ruang keabsahan hukum yang bias diberlakukan, jadi elemen pembentuk Negara hanya dapat ditafsirkan berdasarkan pengertian yuiridis.
3.      Kekuasaan Dalam Konsep Negara Hukum
Kekuasaan dalam pengertian yang umum adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi perilaku seseorang atau kelompok lain, agar pihak tersebut bertindak sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Namun kekuasaan Negara tidak lah seperti pengetian di atas,  karena kekuasaan yang dimaksud disini adalah kekuasaan yang tunduk pada tatanan hukum. Kekuasaan dalam kaitannya dengan masalah kenegaraan, dapat dibedakan ke dalam dua kelompok, yaitu kekuasaan negara dan kekuasaan masyarakat. Kekuasaan negara berkaitan dengan otoritas negara untuk mengatur kehidupan masyarakat secara tertib dan damai. Kekuasaan masyarakat adalah kekuatan/ kemampuan masyarakat untuk mengelola dan mengorganisasikan kepentingan individu-individu dan kelompok-kelompok masyarakat yang menjadi anggotanya sehingga interaksi sosial dapat berjalan secara lancar. Kekuasaan dalam konteks hukum berkaitan dengan kekuasaan negara yaitu kekuasaan untuk mengatur dan menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang meliputi bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dengan demikian, kekuasaan merupakan sarana untuk menjalankan fungsi-fungsi pokok kenegaraan guna mencapai tujuan negara.
 The Rule of Law dan Rechtsstaat merupakan dua konsepsi negara hukum di dalam kepustakaan Indonesia. Konsep tersebut selalu dikaitkan dengan konsep perlindungan hukum, sebab konsep itu tidak lepas dari gagasan untuk memberikan pengkuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Akan tetapi, sebenarnya kedua konsep tesebut mempunyai latar belakang negara  dan pelembagaan yang berbeda meskipun pada intinya sama-sama menginginkan perlindungan bagi HAM melalui pelembagaan peradilan yang bebas dan tidak memihak.   Istilah rechtsstaat banyak dianut di negara Eropa Kontinental yang bertumpu pada sistem civil law, sedangkan the rule of law banyak dikembangkan di negara dengan tradisi anglo saxon yang bertumpu pada sistem common law.
Istilah rechtsstaat berasal dari Robert von Mohl dan merupakan ciptaan golongan Borjuis yang ketika itu kehidupan ekonominya sedang meningkat, sekalipun kehidupan politiknya sebagai suatu kelas sedang menurun. Konsepsi negara hukum pada awal kemunculannya disebut konsep negara hukum formal yang bermuatan filosofi individualis karena dimaksudkan untuk memperjuangkan hak-hak individu warga negara. Namun, dalam perkembangan berikutnya, seperti dalam negara hukum material atau sosial, muatan filosofi konsepsi negara hukum berubah menjadi sosialis. Hal ini sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai oleh konsepsi negara hukum material atau negara hukum sosial, yaitu kesejahteraan suatu bangsa sehingga disebut juga dengan negara hukum kesejahteraan (Welfare state).
Prinsip negara hukum material bukan hanya perlindungan hak asasi manusia, pemisahan kekuasaan, asas legalitas dan peradilan administrasi negara yang diperlukan. Dalam konteks negara hukum material, ada tugas di pundak pemerintah (negara), yaitu mewujudkan kesejahteraan umum bagi masyarakat.
Daud Busro dan Abu Bakar Busro mengemukakan, Negara hukum adalah negara yang berdasarkan hukum yang menjamin keadilan bagi warganya. Burkens menyebutkan bahwa sebagai negara yang berdasarkan hukum berarti sebagai negara yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum. Dalam suatu negara hukum, setidaknya hukum memiliki dua fungsi, yakni:[7]
a.       Sebagai dasar kekuasaan negara, dan
b.      Sebagai pedoman penyelenggaraan kekuasaan negara.
Makna pernyataan Burkens di atas mengandung arti bahwa negara sebagai organisasi kekuasaan pada hakikatnya merupakan produk suatu tindakan hukum yang dilakukan para pendiri negara. Jika berdiri semata-mata karena perbuatan hukum, berarti negara sebagai suatu hasil perbuatan hukum tidak lain dari suatu korporasi (badan hukum). Jika negara dipandang sebagai suatu korporasi, berarti legitimasi kekuasaan negara dan kekuasaan penguasa harus berdasar atas hukum dan bukan atas kekuasaan semata-mata. Dengan pernyataan lain, kekuasaan penguasa sebagai pengemban kekuasaan bersumber dari hukum sehingga kekuasaan tersebut harus tunduk kepada hukum. Penguasa sebagai pengembang kekuasaan memiliki kewenangan untuk memerintah atau menguasai orang lain, bukan semata-mata karena kekuasaannya, tetapi karena aturan-aturan hukum yang menjadi dasar hukum kekuasaannya. Pengakuan bahwa hukum sebagai sumber kekuasaan negara mengandung konsekuensi terhadap kedudukan penguasa, kekuasaan yang digengam penguasa, perlindungan terhadap hak-hak rakyat atau warga negara, dan hubungan antara penguasa dan rakyat.
Jika ada pengakuan bahwa kekuasaan penguasa bersumber dari hukum, berarti kekuasaan penguasa bukan merupakan kekuasaan yang bersifat mutlak (absolut) atau tanpa batas, tetapi kekuasaan yang dibatasi oleh hukum. Konsekuensi atas pegakuan yang demikian mengandung arti bahwa penguasa tidak dapat bertindak sewenang-wenang. Di pihak lain, pembatasan kekuasaan penguasa oleh hukum bersifat positif terhadap hak-hak rakyat atau warga negara sebab jika kekuasaan penguasa dibatasi oleh hukum, penguasa dengan sendirinya tidak dapat bertindak sewenang-wenang sehingga pengakuan dan perlindungan hak-hak rakyat akan dapat diwujudkan.
Dalam negara hukum, hubungan penguasa dan rakyat tidak didasarkan atas dasar kekuasaan, melainkan hubungan yang bersifat sederajat atau setara yang diatur oleh atau berdasarkan hukum.
Ada dua hal penting dari pernyataan Burkens yang menyatakan bahwa penyelenggaraan kekuasaan negara dalam segala bentuknya, dilakukan di bawah kekuasaan hukum, yaitu sebagai berikut:

a.       Jika kekuasaan dalam segala bentuknya diselenggarakan berdasarkan ketentuan hukum, berarti setiap tindakan penguasa harus didasarkan atas ketentuan hukum yang sudah lebih dahulu ada sebelum tindakan penguasa tersebut dilakukan. Prinsip ini disebut sebagai asas legalitas. Asas legalitas ini memberikan dasar pembenar terhadap setiap tindakan pemerintah karena jika tidak ada dasar hukumnya penguasa tidak dapat bertindak. Asas legalitas ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum sehingga penguasa tidak dapat bertindak sewenang-wenang dalam menyelenggarakan kekuasaan negara.
b.      Jika kekuasaan dalam segala bentuknya diselenggarakan berdasarkan ketentuan hukum, berarti hukum selain merupakan dasar tindakan penguasa (legalitas tindakan penguasa) juga sekaligus merupakan pedoman atau penuntut yang memberikan panduan terhadap cara-cara penyelenggaraan kekuasaan negara. Dengan demikian, kekuasaan yang dimiliki penguasa tidak dapat diselenggarakan dengan cara-cara yang tidak berpedoman kepada aturan hukum. Hukum mengatur prosedur atau tata cara yang harus dilakukan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara.
Legalitas dan prosedur atau tata cara menyelenggarakan kekuasaan negara merupakan hal yang penting. Tetapi, hal tersebut tidak boleh menjadi penghambat yang membuat penguasa tidak dapat melaksanakan kekuasaan, tugas, dan wewenangnya dengan baik. Oleh sebab itu, seperti dikemukakan Sudargo Gautama, “yang menjadi pokok persoalan sekitar masalah negara hukum ialah cara bagaimana dapat dikendalikan kekuasaan negara dengan tidak terlalu menghalang-halangi dalam usahanya melaksanakan tujuan negara”.
Pembatasan kekuasaan oleh hukum seperti dikemukakan di atas merupakan pengakuan bahwa kekuasaan subordinasi terhadap hukum dan bukan sebaliknya, sehingga hukum harus unggul atas kekuasaan. Kepatuhan para penguasa terhadap hukum mengandung makna bahwa hukum berkedudukan dalam posisi yang lebih tinggi daripada kekuasaan atau kehendak dan kepentingan penguasa. Akan tetapi, pembatasan kekuasaan tidak hanya berlaku bagi penguasa saja. Negara hukum juga menghendaki adanya pembatasan kekuasaan terhadap tindakan yang dapat dilakukan oleh sesama warga negara supaya tidak terjadi perbuatan menghakim diri sendiri sebab perbuatan menghakimi sendiri pada dasarnya merupakan perbuatan yang sewenang-wenang yang tidak kalah bahayanya dari perbuatan sewenang-wenang penguasa.
Negara hukum menghendaki adanya pembatasan terhadap kekuasaan penguasa dan tindakan warga negara sehingga baik penguasa maupun warga negara harus tunduk kepada hukum. Wirjono Prodjodikoro mengemukakan hal-hal berikut dalam negara hukum:
a.       Semua alat perlengkapan dari negara, khususnya alat-alat perlengkapan dari pemerintah dalam tindakan-tindakannya terhadap warga negara ataupun dalam saling berhubungan dengan masing-masing tidak boleh sewenang-wenang, melainkan harus memperhatikan peraturan-peraturan hukum yang berlaku.
b.      Semua orang dalam berhubungan kemasyarakatan harus tunduk pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku.
Jika penguasa dan rakyat tunduk kepada hukum, berarti hukum dipatuhi dan diakui berlaku atas penguasa dan rakyat. Kepatuhan terhadap hukum atas kesadaran sendiri tersebut menunjukkan kewibawaan hukum  dalam suatu negara. Wibawa hukum itu tidak lain dari pengakuan akan keunggulan hukum sehingga hukum berada di atas segalanya atau ada supremasi hukum dalam negara. Hukum berlaku bagi siapapun tanpa memandang jabatan, golongan, agama, ataupun warna kulit. Keunggulan hukum atas kekuasaan mutlak diperlukan karena Sjachran Basah mengemukakan “kekuasaan tanpa hukum merupakan kezaliman”.
Hukum yang dapat dijadikan sebagai dasar kekuasaan negara dan pedoman dalam penyelenggaraan kekuasaan negara dalam suatu negara hukum adalah hukum yang mencerminkan keadilan sebab sebagaimana dikemukakan oleh Franz Magnis Suseno, paham negara hukum didasari atas keyakinan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang baik dan adil. Hukum yang baik dan adil bukan semata-mata hukum yang proses pembentukannya telah memenuhi persyaratan formal, tetapi harus dapat diuji terhadap norma pengujinya, yaitu cita hukum atau ide hukum.
Jadi Negara seabagai organisasi politik yang juga merupakan personifikasi dari tatanan hukum untuk menjalankan pemerintahan mencapai tujuan Negara diperlukan organ-organ sebagai penggeraknya, yang hanya dapat dilaksanakan dengan adanya kekuasaan Negara yang memuat hak dan kewajiban dari yang diberikan hukum. Hubungan Hukum, kekuasaan dan Negara digambarkan dengan tepat oleh Mochtar Kusumaatmadja, hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, dan kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman.
Konsep Negara Hukum Indonesia
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UU Negara Republik Indonesia Tahun 1945, “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”, yang menganut desntralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, sebagaimana yang diisyaratkan dalam Pasal 18 ayat (1) UUD NRI 1945 “Negara Kesatuan Repuplik Indonesia di bagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu di bagi atas Kabupaten dan kota mempunyai pemerintah daerah, yang diatur dengan undang-undang”. Sebagai Negara hukum setiap penyelenggaraan urusan pemerintahan haruslah berdasarkan hukum yang berlaku. Sebagai Negara yang menganut desentralisasi mengandung arti bahwa urusan itu terdiri dari urusan pemerintahn pusat dan urusan pemerintahan daerah. Artinya ada perangkat pemerintah pusat dan perangkat pemerintah daerah, yang diberi otonomi yakni kebebasan dan kemandirian untuk mengatur dan menguru urusan rumah tangga daerah.
Dengan mrujuk pada rumusan tujuan Negara yang tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 khususnya pada redaksi “memajukan kesejahteraan umum”, ada yang berpendapat bahwa Indonesia menganut paham kesejahteraan (welfare state). Jika di Barat Konsep Negara kesejahteraan baru dikenal sekitar Tahun 1960, maka Indonesia telah menganut sisten Negara Kesejahteraan pada Tahun 1945 yang dirumuskan oleh Bapak Konstitusi Indonesia Soepomo dan dikemukakan dalam rapat BPUPKI. Sebagaiman yang dikutip Ridwan HR menurut Hamid S. Attamini, bahwa Negara Indonesia memang seja didirikan bertekad menetapkan dirinya  sebagai Negara berdasar Negara hukum (rechstaat), bahkan rechstaat Indonesia itu adalah yang “memajukan kesejahteraan umum”, “mencerdaskan kehidupan Bangsa” dan mewujdukan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Rechstaat itu adalah rechstaat yang materiil, yang sosial yang oleh Bung Hatta disebut sebagai Negara Pengurus, suatu terjemahan dari Verzogningstaat.[8]
Salah satu karakteristik konsep ngara kesejahtreraan adalah kewajiban pemerintah untuk mengupayakan kesejahteraan umum. Menurut E. Utrecht, adanya unsure kesejahteraan umum menjadi suatu tanda yang menyatakan adanya suatu “welfare state”.[9] Bagir Manan menyebutkan bahwa dimensi sosial dari Negara berdasar atas hukum adalah berupa kewajibana Negara atas pemerintah untuk mewujudkan dan menjamin kesejahteraan sosial dalam suasana sebesar-besarnya kemakmuran menurut asa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dimensi ini secara spesifik melahirkan paham Negara kesejahteraan.[10] Jika adanya kewajiban pemerintah untuk memajukan kesejahteraan umum merupakan cirri konsep dari enagar kesejahteraan, Indonesia tergolong Negara kesejahteraan, karena tugas pemerintah tidaklah semata-mata hanya di bidang pemerintahan saja, melainkan harus juga mengupayakan kesejahteraan sosial dalam rangka mencapai tujuan Negara, yang dijalankan melalui pembangunan nasional.
Secara konstitusional terdapat kewajiban Negara dan pemerintah untuk mengatur dan mengelola perekeonomian, cabang-cabang produksi dan kekayaan alam dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosial, memlihara fakir miskin dan anak-anak terlantar, serta memberikan jaminan sosial dan kesehatan bagi warga Negara, seperti ditentukan dalam Bab XIV Pasal 33 dan 34 UUD 1945.
Dengan merujuk pada unsur-unsur Negara hukum yang telah dikemukakan di atas, ditemukan beberapa ketentuan dalam UUUD 1945 yang menunjukkan bahwa Negara hukum Indonesia yang menganut desentralisasi yang berorientasi kesejahteraan, pertama pengakuan perlindungan hak asasi manusia sebagaiamna terdapat dalam Pasal 28 A sampai 28 J UUD 1945; kedua pemencaran kekuasaan, yang berbentuk pemecaran dan pembagian kekuasaan secara horizontal dan vertical. Pemencaran dan pembagian kekuasaan secara horizontal tampak pada pembentukan dan pemebrian kekuasaan kepada DPR (Pasal 19,20,21, 22 UUD 1945), kekuasaan Presiden (Pasal 4-15 UUD 1945), kekuasaan kehakiman (Pasal 24 UUD 1945) dan beberapa suprastruktu lainnya. Pemencaran dan pembagian kekuasaan secara vertical muncul dalam wujud desentralisasi dengan pemebntukan dan pemberian kewenangan satuan Pemerintahan Daerah (Pasal 18 UUD 1945); Ketiga, prinsip kedaulatan rakyat sebagaiaman tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) “kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”; keempat penyelenggaraan berdasarkan atas hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; kelima pengawasan oleh Hakim yang merdeka, yang merupakan implementasi dari Pasal 24 UUD 1945 dan beberapa regulasi tentang kekuasaan kehakiman dan lembaga-lemabaga peradilan; keenam pemilihan umum yang dilakukan secara priodik; ketujuh, tersedianya tempat pengaduan bagi masyarakat atas tindakan pemerintah yang merugikan masyarakat yakni upaya adminsitratif, PTUN, Komisi ombudsman.
Dengan merujuk pada konsep Negara hukum yang diselenggarakan melalui mekanisme demokrasi. Hukum dijadikan aturan  main dalam penyelenggaraan negaradan pemerintah serta untuk mengatur hubungan hukum penyelenggara Negara dan pemerintahan Indonesia.



[1] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1999), hlm. 71.
[2] http://mohzulkiflidatau.wordpress.com/2012/10/28/tugas-2-hubungan-antara-hukum-dan-negara-menurut-para-ahli/ diunduh pada tanggal 30 November 2013 Pukul 22:00.
[3] Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, (Bandung: Nusa Media, 2013), hlm. 27-34.
[4] C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil , Pengantar Ilmu Hukum Indonesia (Jakarta ; PT. Rineka Cipta) hlm.52-55
[5] Hans Kelsen, Pengantar Teori Hukum, (Bandung: Nusa Media, 2010), hlm. 157-158.
[6] Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara (Bandung; Nusa Media, 2013) hlm . 273.
[7] Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, & Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, (Jakarta: Erlangga, 2010), hlm. 48.
[8] Ridwan HR, mengutip A. Hamid Attamini, Der Rechstaat Republik Indonesia dan Prespektifnya menurut Pancasila dan UUD 1945, makalah pada Seminar Sehari dalam Rangk Dies Natalis Universitas 17 Agustus Jakarta ke 42, diselenggarakan Univerrsitas 17 Agustus Jakarta 9 Juli 1994  dalam Hukum Adminsitrasi Negara (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada : 2011).hlm. 18
[9] Ridwan HR, mengutip E.Utrecht dalam Pengantar Hukum Adminstrasi Negara Indonesia, dalam Hukum Adminsitrasi Negara. Ibid.
[10] Bagir Manan, Pemikiran Negara Berkonstitusi Indonesia, Makalah pada Temu ilmiah Nasional, Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung 6 April 199. Hlm 2

0 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 Iyunk | TNB