Hubungan
Hukum, Negara, dan Kekuasaan
oleh
Fakhrisya Zalili Sailan, S.H
Hukum,
negara dan kekuasaan adalah tiga hal yang tidak dapat terpisahkan. Berbicara
tentang negara, kita berbicara tentang organisasi kekuasaan, sehingga hukum pun
erat sekali hubungannya dengan kekuasaan. Salah seorang di antara berpendapat
bahwa negara mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari pada huukum adalah
Puchta, murid seorang pemikir terkenal di bidang hukum yang bernnama Friedrick
Von Savigny. Savigny berpendapat bahwa hukum tumbuh bersama pertumbuhan bangsa
(rakyat), menjadi kuat bersama dengan kekuatan bangsa dan akhirnya mati ( punah
). Pandangan pputcha ini senada dengan theodor Geiger, yang menelaah hukum
melalui teori—teori sosiologi. Geiger berpendapat bahkan satu-satunya hukum
yang berlaku adalah hukum yang berasal dari negara.
Krabbe
berpendapat, rakyat mntaati peraturan negara bukan karena paksaan (oleh
kekuasaan) negara, tetapi karena mereka memiliki kesadaran hukum rakyatlah yang
merupakan suumber kekuasaan negara. Dengan demikian negara bukanlah pemegan kedaulatann
tertinggi karena negarapun juga harus tuundukk kepada hukum. Jadi dalam
menjalankan kebijakksanaan, negara terikat pada norma-norma keadilan. Teori
kedaulatan hukum inilah yang menjiwai prinsip negara dan hukum. Nagara hukum
dalam arti sempit, yakkni negara dan hukum liberal, ditandai dengan dua ciri :
- Adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.
- Pemisah kekuasaan, antara kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif
Teori kedaulatan rakyat ini
menyatakan bahwa negara terbentuk karena sekelompok manusia yang semula hidup
sendiri-sendiri dan mengadakan perjanjian untuk membentuk suatu badan yang di
serahi kekuasaan menyelenggarakan ketertiban dalam masyarakat. Jadu bila
masyarakat tunduk kepada pemerintah, sebenarnya masyarakat tunduk kepada
kemauannya sendiri / kemauan umum. Dengan kata lain, pemerintah diberi
kekuasaan oleh rakyat yang berdaulat itu, dan pemerintah melakukan itu atas
nama rakyat. Tokoh : Rousseau, John Locke, MontesquieuTeori kedaulatan negara
mengatakan bahwa negara terjadi karena kodrat alam, demikian pula kekuasaan
yang ada. Karena itu kedaulatan dia anggap ada sejak adanya/lahirnya negara.
Sehingga, negaralah yang di anggap sumber kedaulatan. Hukum ada karena
dikehendaki negara, oleh karena itu negara tidak dapat dibatasi hukum karena
hukum adalah hasil buatan negara sendiri. Tokoh : Jellineck, paul laband.[2]
Hens
Kelsen, yang mencoba untuk menyusun suatu teori murni tentang hukum, menolak
pandangan dualisme terhadap negara dan hukum. Menurut pendapatnya hukum dan
negara adalahh identik, karena negara lain dari pada sistem sikap tindak
manusia dan ketaatan dari paksaan sosial. Ketaatan pemaksa ini tidak beda
dengan tata hukum, karena dalam masyarakat hnya ada satu, dan bukan dua
ketaatan pemaksa yang sah pada satu waktu. Jadi negara lebih tinggi dari pada
hukum, karena bila demikian berarti pendewaan terhadap negara dan hukum tidak
lebih tinggi dari negara, seperti pendapat aliran huukum alam yang di tentang
oleh Kalsen. dalam makalah ini kami banyak membahas tentang hubungan hukum,
negara dan kekuasaan berdasarkan teori hukum murni, oleh karena pandangan Hans kelsendisamping
menurut para pakar hukum lainnya, karena menurut kami, upaya penghapusan
dualisme antara Negara dan Hukum dengan melepaskan teorinya dari penedekatan
historis dan sosiologis tanpa menafikan adanya hubungan antara hukum dan
keduanya justru mampu menjawab bagaiamana kedaulatan hukum, yang sehrusnya. Lebih
daripada itu sebagaimana yang kita lihat nanti bahwa perkembangan pemeikiran negara
hukum sekarang ini semakin mendekati ajaran teori hukum murni yang
dikonsentrasikan pada fungsi hukum sebagai alat perubahan sosial bukan justru
hukum yang tertatih mengikuti perubahan. Salah satu penemuan besar Hans Kelsen
adalah pikiran tentang perlunya pengadilan yang khusus mengadili jika terjadi
kontradiksi antara peraturan perundang-undangan dengan Undang-Undang dasar yang
sekarang dikenal dengan Mahkamah Konstitusi yang merupakan penemuan penting
dalam khasanah Ilmu Hukum dalam bidang Tata Negara,
Untuk
menenmukan garis penghubung dalam rangka mengupas hubungan hukum, kekuasaan dan
Negara, sebelumnya perlu di pahami dengan apa yang dimaksud dengan Tatanan
Sosial dan Tatanan hukum.
1.
Tatanan
Hukum Sebagai Tatanan Sosial Yang
Bersifat Memaksa
Menurut Hans Kelsan
Tatanan sosial adalah hubungan prilaku antara inidvidu yang satu dengan
individu yang lain serta hunbungannya dengan binatang, tanaman, dan benda-benda
mati yang ada di sekitarnya, fungsi dari tatanan sosial ini adalah menghadirkan
prilaku tertentu dari individu tertentu
untuk mematuhi tatanan sosial ini, untuk memotivasi mereka agar menghentikan
tindakan yang di anggap merugikan “secara sosial”, yakni merupakan individu
lain, dan agar melakukan tindakan yang dianggap berguana bagi masyarakat,
sedangkan tatanan hukum adalah sebuah tatanan yang mengatur prilaku manusia,
tatanan hukum dapat dilihat dari bagaimana orang bertindak sesuai dengan sistem
hukum yang dianut dalam tatanan sosial.[3]
tatanan sosial selalu menerapkan reaksi terhadap suatu tindakan yang merugikan
masyarakat, terdapat dua jenis sanksi dalam tatanan sosial, yaitu sanksi
trasedental dan sanksi secara sosial, sanksi trasedental adalah sanksi yang
menurut keyakinan individu berasal dari otoritas yang ghaib, contohnya pada
masyarakat primitif kekeringan yang menyebabkan kelaparan yang berkepanjangan
adalah sanksi dari dewi kesuburan karena manusia telah bertindak salah memanfaatkan
tanahnya, sebaliknya jika tatanan sosial tersebut mendapatkan keberuntungan hasil
panen melimpah, maka perlu diadakan upacara persembahan terhadap sesuatu yang
mereka anggap sebagai penyebabnya. Sanksi dalam tatanan sosial sendiri
diterapkan berdasarkan kesepakatan tentang pelaksanaan dan prosedur penerapan
sanksi, sanksi yang paling primitif yang kita kenal adalah “dendam berdarah”
yang diterapkan dalam hukum primitif atau yang biasa kita sebut sebagai hukum
rimba, namun sanksi secara sosial inilah yang kemudian menjadi dasar pemikiran
hukum modern yang sekarang ini, penerapan sanksi secara sosial lah yang membeirkan
bentuk dasar dari tatanan sosial sebagai tatanan hukum, dengan demikian
hubungan antara tatanan sosial dan tatanan hukum dapat dibahasakan”tatanan hukum merupakan bagian dari tatanan
sosial, namun pada zaman modern ini hampir tidak ada satupun tatanan sosial
yang tidak membentuk tatanan hukum”.
Para
pemikir hukum telah melakukan rekosntruksi dari hukum primitif yang kemudian
menghasilakn hukum modern seperti yang kita pahami sekarang ini, suatu tatanan
yang menghendaki keteraturan tidak hanya itu, hukum juga merupakan alat
perubahan untuk menuju kesejahteraan. Ketika tatanan sosial menghendaki suatu
keteraturan dalam komunitasnya maka tatanan sosial tersebut akan membuat
kesepakatan mengenai sistem hukum yang akan dijalankan. Dalam suatu tatanan sosial
kita menemukan norma-norma sebagai norma dasar pembentuk tatanan itu, dibedakan
4 macam norma, yaitu :
1. Norma
agama;
2.
Norma kesusilaan;
3.
Norma kesopanan;
4.
Norma hukum.[4]
Norma
agama adalah peraturan hidup yang diterima sebagai perintah, larangan, dan
anjuran yang berasal dari Tuhan untuk kepentingan diri dan harta pribadinya,
sanksi dalam norma agama di laksanakan pada kehidupan yang akan di alam
akhirat, meskipun juga ada pemahaman terhadap “karma” atau sanksi di dunia yang
tidak ditangguhkan sampai ke akhirat, contoh dari norma agama adalah :
a.
Jangan berbuat Riba’
barang siapa yang berbuat Riba’ akan dimasukkan ke dalam neraka untuk
selama-lamanya (Al-Qur’an : Surat Al-Baqarah : 275)
b. Hormatilah
orang tuamu, agar kau selamat (Kitab Injil Perjanjian Lama : Ulangan)
Norma
kesusilaan ialah peraturan hidup yang tumbuh sebagai suara hati sanubari
manusia. Norma kesopanan adalah norma yang tumbuh dari pergaulan masyarakat,
norma hukum adalah norma yang tumbuh dalam sistem hukum. Keefektifan suatu
norma dapat dilihat apakah suatu norma dipatuhi oleh tatanan masyarakat yang
tunduk pada norma-norma tersebut. Untuk menjamin keefektifan norma diperlukan
sanksi pada tiap pelanggaran, pelanggaran norma agama di ancam dengan hukuman
dari Tuhan, dan hukuman itu berlaku kelak di akhirat, pelanggaran norma
kesusilaan mengakibatkan perasaan cemas dan kesal hati, dan pelanggaran norma
kesopanan mengakibatkan celaan atau
pengasingan dari lingkungan. Hukuman semacam ini tidak berlaku bagi orang yang
tidak mempedulikan agama kesusilaan dan kesopanan, umunya ketiga norma itu juga
tidak mengatut, misalnya bahwa orang-orang yang berrjalan di jalan raya harus
berjalan di seblah kiri. Oleh karena itu norma agama, norma kesusialaan, dan
norma kesopanan tidak cukup memberikan jaminan hukum untuk dipatuhi, oleh
karena itu norma hukum diperlukan untuk mengatur apa yang tidak diatur oleh
ketiga norma tersebut (ketuhanan, kesusilaan, kesopanan) dan orang yang tidak
peduli terhadap ke tiga norma tersebut. Berdasarkan penjelasan tersbut maka
yang membedakan norma hukum dan norma lainnya adalah tatanan pemaksa.
2.
Negara
Sebagai Personifikasi Dari Hukum
Negara
dipahami dengan istilah hukum, tidak lebih dan tidak kurang daripada hukum itu
sendiri, hukum sebagai persoalan ideal adalah sebuah sistem, dan karena itu
menjadi objek kognisi hukum normatif, sedangkan hukum sebagai tindakan – baik
dimotivasi dan memotivasi, baik psikologis maupun fisik – adalah kekuasaan,
kekuasaan hukum, dan sebagai objek penyelidikan psikologi sosial dan sosiologi.[5]
Lebih lanjut menurut Hans Kelsen Identitas Negara dan tatanan hokum dapat
dilihat dengan jelas dari fakta bahwa para sosiolog pun menyebut Negara sebagai
sebuah masyarakat yang diorganisasikan “secara politik”. Karena masyarakat
dibentuk oleh organisasi karena masyarakat sebagai suatu kesatuan dibentuk oleh
organisasi, maka lebih tepat untuk mendifiniskan Negara sebagai “organisasi
politik”. Organisasi adalah sebuah tatanan. Letak karakter polittik dari
tatanan sosial ini letaknya terdapat pada fakta
bahwa tatanan ini merupakan tatanan pemaksa. Negara merupakan organisasi
politik karena merupakan tatanan yang mengatur penggunaan paksaan . Negara adalah suatu masyarakat yang
diorganisasikan secara politik karena Negara merupakan sebuah komunitas yang
dibentuk oleh suatu tatanan yang bersifat tatanan pemaksa, dan tatanan tersebut
adalah tatanan hukum.[6]
Untuk
menjelaskan hubungan antara Negara dan hukum kami analogikan dengan pertanyaan : “yang mana terlebih dahulu
antara Negara dan konstitusi?, menjawab pertanyaan ini menurut kami, antara
Negara dan konstitusi tidak bisa diindentifikasi dengan membdakan keduanya
sebagai sesuat yang berbeda, tetapi lebih pada
hubungn kausalitas (sebab-akibat), dimana yang satu merupakan akibat
mutlak dari sebab. Negara merupakan personifikasi dari hukum, sama seperti jika
kita mendefiniskan manusia dikatakan manusia karena hati nurani dan akal
pikirannya, Negara adalah manusia, dan hukum adalah hati nurani dalam analogi
ini. Jadi konstitusi adalah norma dasar yang dibentuk berdasarkan kesepakatan
seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa tatanan hukum adalah tatanan yang
membentuk sistem hukum berdsarkan kesepakatan, yang dituangkan dalam konstitusi
sebagai norma dasar, karena pada prinsipnya tatanan sosial yang didalamnya ada
tatanan hukum mesti di bentuk berdasarkan norma dasar. Oleh karena itu
berdasarkan dari dua pendapat ahli dan argumentasi kami di atas, kami menarik
kesimpulan bahwa Negara adalah Personifikasi dari Tatanan Hukum.
Negara
sebagai personifikasi dari hukum, semakin jelas ketika kita membahas elemen
pembentuk Negara, yaitu warga Negara, wilayah Negara, dan kekuasaan. Penduduk
Negara adalah manusia yang berasal dari Negara itu, jika ditanyakan mengapa
seorang individu bersama individu lain tunduk pada tatanan pemaksa tertentu ,
maka tidak ada alasan lain yang bias ditemukan kecuali bahwa dia dan individu
tunduk pada tatanan pemaksa tertentu. Wilayah Negara merupakan ruang khusus
yang dibatasi. Ia bukanlah belahan permukaan bumi yang dibatasi, melainkan
ruang tiga dimensi yang mencakup ruang di bawah tanah dan ruang di atas tanah
yang dinamakan batas tapal Negara, yang dibatasi oleh territorial Negara lain
atau wilayah internasional, dimana wilayah itu merupakan lingkup ruang
keabsahan hukum yang bias diberlakukan, jadi elemen pembentuk Negara hanya
dapat ditafsirkan berdasarkan pengertian yuiridis.
3.
Kekuasaan
Dalam Konsep Negara Hukum
Kekuasaan
dalam pengertian yang umum adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi
perilaku seseorang atau kelompok lain, agar pihak tersebut bertindak sesuai
dengan apa yang mereka inginkan. Namun kekuasaan Negara tidak lah seperti
pengetian di atas, karena kekuasaan yang
dimaksud disini adalah kekuasaan yang tunduk pada tatanan hukum. Kekuasaan
dalam kaitannya dengan masalah kenegaraan, dapat dibedakan ke dalam dua
kelompok, yaitu kekuasaan negara dan kekuasaan masyarakat. Kekuasaan negara
berkaitan dengan otoritas negara untuk mengatur kehidupan masyarakat secara
tertib dan damai. Kekuasaan masyarakat adalah kekuatan/ kemampuan masyarakat
untuk mengelola dan mengorganisasikan kepentingan individu-individu dan
kelompok-kelompok masyarakat yang menjadi anggotanya sehingga interaksi sosial
dapat berjalan secara lancar. Kekuasaan dalam konteks hukum berkaitan dengan
kekuasaan negara yaitu kekuasaan untuk mengatur dan menyelenggarakan kehidupan
bermasyarakat dan bernegara yang meliputi bidang legislatif, eksekutif dan
yudikatif. Dengan demikian, kekuasaan merupakan sarana untuk menjalankan fungsi-fungsi
pokok kenegaraan guna mencapai tujuan negara.
The Rule
of Law dan Rechtsstaat merupakan
dua konsepsi negara hukum di dalam kepustakaan Indonesia. Konsep tersebut
selalu dikaitkan dengan konsep perlindungan hukum, sebab konsep itu tidak lepas
dari gagasan untuk memberikan pengkuan dan perlindungan terhadap hak asasi
manusia. Akan tetapi, sebenarnya kedua konsep tesebut mempunyai latar belakang
negara dan pelembagaan yang berbeda
meskipun pada intinya sama-sama menginginkan perlindungan bagi HAM melalui
pelembagaan peradilan yang bebas dan tidak memihak. Istilah rechtsstaat
banyak dianut di negara Eropa Kontinental yang bertumpu pada sistem civil law, sedangkan the rule of law banyak dikembangkan di
negara dengan tradisi anglo saxon yang
bertumpu pada sistem common law.
Istilah
rechtsstaat berasal dari Robert von
Mohl dan merupakan ciptaan golongan Borjuis yang ketika itu kehidupan
ekonominya sedang meningkat, sekalipun kehidupan politiknya sebagai suatu kelas
sedang menurun. Konsepsi negara hukum pada awal kemunculannya disebut konsep
negara hukum formal yang bermuatan filosofi individualis karena dimaksudkan
untuk memperjuangkan hak-hak individu warga negara. Namun, dalam perkembangan
berikutnya, seperti dalam negara hukum material atau sosial, muatan filosofi
konsepsi negara hukum berubah menjadi sosialis. Hal ini sesuai dengan tujuan
yang hendak dicapai oleh konsepsi negara hukum material atau negara hukum
sosial, yaitu kesejahteraan suatu bangsa sehingga disebut juga dengan negara
hukum kesejahteraan (Welfare state).
Prinsip
negara hukum material bukan hanya perlindungan hak asasi manusia, pemisahan
kekuasaan, asas legalitas dan peradilan administrasi negara yang diperlukan.
Dalam konteks negara hukum material, ada tugas di pundak pemerintah (negara),
yaitu mewujudkan kesejahteraan umum bagi masyarakat.
Daud
Busro dan Abu Bakar Busro mengemukakan, Negara hukum adalah negara yang
berdasarkan hukum yang menjamin keadilan bagi warganya. Burkens menyebutkan
bahwa sebagai negara yang berdasarkan hukum berarti sebagai negara yang
menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan
tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum. Dalam suatu
negara hukum, setidaknya hukum memiliki dua fungsi, yakni:[7]
a. Sebagai
dasar kekuasaan negara, dan
b. Sebagai
pedoman penyelenggaraan kekuasaan negara.
Makna
pernyataan Burkens di atas mengandung arti bahwa negara sebagai organisasi
kekuasaan pada hakikatnya merupakan produk suatu tindakan hukum yang dilakukan
para pendiri negara. Jika berdiri semata-mata karena perbuatan hukum, berarti
negara sebagai suatu hasil perbuatan hukum tidak lain dari suatu korporasi
(badan hukum). Jika negara dipandang sebagai suatu korporasi, berarti
legitimasi kekuasaan negara dan kekuasaan penguasa harus berdasar atas hukum
dan bukan atas kekuasaan semata-mata. Dengan pernyataan lain, kekuasaan
penguasa sebagai pengemban kekuasaan bersumber dari hukum sehingga kekuasaan
tersebut harus tunduk kepada hukum. Penguasa sebagai pengembang kekuasaan memiliki
kewenangan untuk memerintah atau menguasai orang lain, bukan semata-mata karena
kekuasaannya, tetapi karena aturan-aturan hukum yang menjadi dasar hukum
kekuasaannya. Pengakuan bahwa hukum sebagai sumber kekuasaan negara mengandung
konsekuensi terhadap kedudukan penguasa, kekuasaan yang digengam penguasa,
perlindungan terhadap hak-hak rakyat atau warga negara, dan hubungan antara
penguasa dan rakyat.
Jika
ada pengakuan bahwa kekuasaan penguasa bersumber dari hukum, berarti kekuasaan
penguasa bukan merupakan kekuasaan yang bersifat mutlak (absolut) atau tanpa
batas, tetapi kekuasaan yang dibatasi oleh hukum. Konsekuensi atas pegakuan
yang demikian mengandung arti bahwa penguasa tidak dapat bertindak
sewenang-wenang. Di pihak lain, pembatasan kekuasaan penguasa oleh hukum
bersifat positif terhadap hak-hak rakyat atau warga negara sebab jika kekuasaan
penguasa dibatasi oleh hukum, penguasa dengan sendirinya tidak dapat bertindak
sewenang-wenang sehingga pengakuan dan perlindungan hak-hak rakyat akan dapat diwujudkan.
Dalam
negara hukum, hubungan penguasa dan rakyat tidak didasarkan atas dasar
kekuasaan, melainkan hubungan yang bersifat sederajat atau setara yang diatur
oleh atau berdasarkan hukum.
Ada
dua hal penting dari pernyataan Burkens yang menyatakan bahwa penyelenggaraan
kekuasaan negara dalam segala bentuknya, dilakukan di bawah kekuasaan hukum,
yaitu sebagai berikut:
a. Jika
kekuasaan dalam segala bentuknya diselenggarakan berdasarkan ketentuan hukum,
berarti setiap tindakan penguasa harus didasarkan atas ketentuan hukum yang
sudah lebih dahulu ada sebelum tindakan penguasa tersebut dilakukan. Prinsip
ini disebut sebagai asas legalitas. Asas legalitas ini memberikan dasar
pembenar terhadap setiap tindakan pemerintah karena jika tidak ada dasar
hukumnya penguasa tidak dapat bertindak. Asas legalitas ini dimaksudkan untuk
memberikan kepastian hukum sehingga penguasa tidak dapat bertindak
sewenang-wenang dalam menyelenggarakan kekuasaan negara.
b. Jika
kekuasaan dalam segala bentuknya diselenggarakan berdasarkan ketentuan hukum,
berarti hukum selain merupakan dasar tindakan penguasa (legalitas tindakan
penguasa) juga sekaligus merupakan pedoman atau penuntut yang memberikan
panduan terhadap cara-cara penyelenggaraan kekuasaan negara. Dengan demikian, kekuasaan
yang dimiliki penguasa tidak dapat diselenggarakan dengan cara-cara yang tidak
berpedoman kepada aturan hukum. Hukum mengatur prosedur atau tata cara yang
harus dilakukan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara.
Legalitas
dan prosedur atau tata cara menyelenggarakan kekuasaan negara merupakan hal
yang penting. Tetapi, hal tersebut tidak boleh menjadi penghambat yang membuat
penguasa tidak dapat melaksanakan kekuasaan, tugas, dan wewenangnya dengan
baik. Oleh sebab itu, seperti dikemukakan Sudargo Gautama, “yang menjadi pokok
persoalan sekitar masalah negara hukum ialah cara bagaimana dapat dikendalikan
kekuasaan negara dengan tidak terlalu menghalang-halangi dalam usahanya
melaksanakan tujuan negara”.
Pembatasan
kekuasaan oleh hukum seperti dikemukakan di atas merupakan pengakuan bahwa
kekuasaan subordinasi terhadap hukum dan bukan sebaliknya, sehingga hukum harus
unggul atas kekuasaan. Kepatuhan para penguasa terhadap hukum mengandung makna
bahwa hukum berkedudukan dalam posisi yang lebih tinggi daripada kekuasaan atau
kehendak dan kepentingan penguasa. Akan tetapi, pembatasan kekuasaan tidak
hanya berlaku bagi penguasa saja. Negara hukum juga menghendaki adanya
pembatasan kekuasaan terhadap tindakan yang dapat dilakukan oleh sesama warga
negara supaya tidak terjadi perbuatan menghakim diri sendiri sebab perbuatan
menghakimi sendiri pada dasarnya merupakan perbuatan yang sewenang-wenang yang
tidak kalah bahayanya dari perbuatan sewenang-wenang penguasa.
Negara
hukum menghendaki adanya pembatasan terhadap kekuasaan penguasa dan tindakan
warga negara sehingga baik penguasa maupun warga negara harus tunduk kepada
hukum. Wirjono Prodjodikoro mengemukakan hal-hal berikut dalam negara hukum:
a. Semua
alat perlengkapan dari negara, khususnya alat-alat perlengkapan dari pemerintah
dalam tindakan-tindakannya terhadap warga negara ataupun dalam saling
berhubungan dengan masing-masing tidak boleh sewenang-wenang, melainkan harus
memperhatikan peraturan-peraturan hukum yang berlaku.
b. Semua
orang dalam berhubungan kemasyarakatan harus tunduk pada peraturan-peraturan
hukum yang berlaku.
Jika
penguasa dan rakyat tunduk kepada hukum, berarti hukum dipatuhi dan diakui
berlaku atas penguasa dan rakyat. Kepatuhan terhadap hukum atas kesadaran
sendiri tersebut menunjukkan kewibawaan hukum
dalam suatu negara. Wibawa hukum itu tidak lain dari pengakuan akan
keunggulan hukum sehingga hukum berada di atas segalanya atau ada supremasi
hukum dalam negara. Hukum berlaku bagi siapapun tanpa memandang jabatan,
golongan, agama, ataupun warna kulit. Keunggulan hukum atas kekuasaan mutlak
diperlukan karena Sjachran Basah mengemukakan “kekuasaan tanpa hukum merupakan
kezaliman”.
Hukum
yang dapat dijadikan sebagai dasar kekuasaan negara dan pedoman dalam
penyelenggaraan kekuasaan negara dalam suatu negara hukum adalah hukum yang
mencerminkan keadilan sebab sebagaimana dikemukakan oleh Franz Magnis Suseno,
paham negara hukum didasari atas keyakinan bahwa kekuasaan negara harus
dijalankan atas dasar hukum yang baik dan adil. Hukum yang baik dan adil bukan
semata-mata hukum yang proses pembentukannya telah memenuhi persyaratan formal,
tetapi harus dapat diuji terhadap norma pengujinya, yaitu cita hukum atau ide
hukum.
Jadi
Negara seabagai organisasi politik yang juga merupakan personifikasi dari tatanan
hukum untuk menjalankan pemerintahan mencapai tujuan Negara diperlukan
organ-organ sebagai penggeraknya, yang hanya dapat dilaksanakan dengan adanya
kekuasaan Negara yang memuat hak dan kewajiban dari yang diberikan hukum.
Hubungan Hukum, kekuasaan dan Negara digambarkan dengan tepat oleh Mochtar
Kusumaatmadja, hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, dan kekuasaan tanpa
hukum adalah kelaliman.
Konsep
Negara Hukum Indonesia
Berdasarkan
ketentuan Pasal 1 ayat (3) UU Negara Republik Indonesia Tahun 1945, “Negara
Indonesia adalah Negara Hukum”, yang menganut desntralisasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan, sebagaimana yang diisyaratkan dalam Pasal 18 ayat
(1) UUD NRI 1945 “Negara Kesatuan Repuplik Indonesia di bagi atas daerah-daerah
provinsi dan daerah provinsi itu di bagi atas Kabupaten dan kota mempunyai
pemerintah daerah, yang diatur dengan undang-undang”. Sebagai Negara hukum
setiap penyelenggaraan urusan pemerintahan haruslah berdasarkan hukum yang
berlaku. Sebagai Negara yang menganut desentralisasi mengandung arti bahwa
urusan itu terdiri dari urusan pemerintahn pusat dan urusan pemerintahan
daerah. Artinya ada perangkat pemerintah pusat dan perangkat pemerintah daerah,
yang diberi otonomi yakni kebebasan dan kemandirian untuk mengatur dan menguru
urusan rumah tangga daerah.
Dengan
mrujuk pada rumusan tujuan Negara yang tercantum dalam alinea keempat Pembukaan
UUD 1945 khususnya pada redaksi “memajukan kesejahteraan umum”, ada yang
berpendapat bahwa Indonesia menganut paham kesejahteraan (welfare state). Jika
di Barat Konsep Negara kesejahteraan baru dikenal sekitar Tahun 1960, maka
Indonesia telah menganut sisten Negara Kesejahteraan pada Tahun 1945 yang
dirumuskan oleh Bapak Konstitusi Indonesia Soepomo dan dikemukakan dalam rapat
BPUPKI. Sebagaiman yang dikutip Ridwan HR menurut Hamid S. Attamini, bahwa
Negara Indonesia memang seja didirikan bertekad menetapkan dirinya sebagai Negara berdasar Negara hukum
(rechstaat), bahkan rechstaat Indonesia itu adalah yang “memajukan kesejahteraan
umum”, “mencerdaskan kehidupan Bangsa” dan mewujdukan suatu keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia. Rechstaat itu adalah rechstaat yang materiil,
yang sosial yang oleh Bung Hatta disebut sebagai Negara Pengurus, suatu
terjemahan dari Verzogningstaat.[8]
Salah
satu karakteristik konsep ngara kesejahtreraan adalah kewajiban pemerintah
untuk mengupayakan kesejahteraan umum. Menurut E. Utrecht, adanya unsure
kesejahteraan umum menjadi suatu tanda yang menyatakan adanya suatu “welfare
state”.[9]
Bagir Manan menyebutkan bahwa dimensi sosial dari Negara berdasar atas hukum
adalah berupa kewajibana Negara atas pemerintah untuk mewujudkan dan menjamin
kesejahteraan sosial dalam suasana sebesar-besarnya kemakmuran menurut asa
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dimensi ini secara spesifik
melahirkan paham Negara kesejahteraan.[10]
Jika adanya kewajiban pemerintah untuk memajukan kesejahteraan umum merupakan
cirri konsep dari enagar kesejahteraan, Indonesia tergolong Negara
kesejahteraan, karena tugas pemerintah tidaklah semata-mata hanya di bidang
pemerintahan saja, melainkan harus juga mengupayakan kesejahteraan sosial dalam
rangka mencapai tujuan Negara, yang dijalankan melalui pembangunan nasional.
Secara
konstitusional terdapat kewajiban Negara dan pemerintah untuk mengatur dan
mengelola perekeonomian, cabang-cabang produksi dan kekayaan alam dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan sosial, memlihara fakir miskin dan anak-anak
terlantar, serta memberikan jaminan sosial dan kesehatan bagi warga Negara,
seperti ditentukan dalam Bab XIV Pasal 33 dan 34 UUD 1945.
Dengan
merujuk pada unsur-unsur Negara hukum yang telah dikemukakan di atas, ditemukan
beberapa ketentuan dalam UUUD 1945 yang menunjukkan bahwa Negara hukum
Indonesia yang menganut desentralisasi yang berorientasi kesejahteraan, pertama pengakuan perlindungan hak asasi
manusia sebagaiamna terdapat dalam Pasal 28 A sampai 28 J UUD 1945; kedua pemencaran kekuasaan, yang
berbentuk pemecaran dan pembagian kekuasaan secara horizontal dan vertical.
Pemencaran dan pembagian kekuasaan secara horizontal tampak pada pembentukan
dan pemebrian kekuasaan kepada DPR (Pasal 19,20,21, 22 UUD 1945), kekuasaan
Presiden (Pasal 4-15 UUD 1945), kekuasaan kehakiman (Pasal 24 UUD 1945) dan
beberapa suprastruktu lainnya. Pemencaran dan pembagian kekuasaan secara
vertical muncul dalam wujud desentralisasi dengan pemebntukan dan pemberian
kewenangan satuan Pemerintahan Daerah (Pasal 18 UUD 1945); Ketiga, prinsip kedaulatan rakyat sebagaiaman tercantum dalam Pasal
1 ayat (2) “kedaulatan adalah di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”; keempat
penyelenggaraan berdasarkan atas hukum dan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; kelima
pengawasan oleh Hakim yang merdeka, yang merupakan implementasi dari Pasal 24
UUD 1945 dan beberapa regulasi tentang kekuasaan kehakiman dan lembaga-lemabaga
peradilan; keenam pemilihan umum yang
dilakukan secara priodik; ketujuh,
tersedianya tempat pengaduan bagi masyarakat atas tindakan pemerintah yang
merugikan masyarakat yakni upaya adminsitratif, PTUN, Komisi ombudsman.
Dengan
merujuk pada konsep Negara hukum yang diselenggarakan melalui mekanisme
demokrasi. Hukum dijadikan aturan main
dalam penyelenggaraan negaradan pemerintah serta untuk mengatur hubungan hukum
penyelenggara Negara dan pemerintahan Indonesia.
[1] Sudikno Mertokusumo, Mengenal
Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1999), hlm. 71.
[2] http://mohzulkiflidatau.wordpress.com/2012/10/28/tugas-2-hubungan-antara-hukum-dan-negara-menurut-para-ahli/ diunduh pada tanggal 30 November 2013 Pukul
22:00.
[3] Hans Kelsen, Teori Hukum
Murni, (Bandung: Nusa Media, 2013), hlm. 27-34.
[4] C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil , Pengantar Ilmu Hukum
Indonesia (Jakarta ; PT. Rineka Cipta) hlm.52-55
[5] Hans Kelsen, Pengantar Teori
Hukum, (Bandung: Nusa Media, 2010), hlm. 157-158.
[6] Hans Kelsen, Teori Umum
Tentang Hukum dan Negara (Bandung; Nusa Media, 2013) hlm . 273.
[7] Hotma P. Sibuea, Asas Negara
Hukum, Peraturan Kebijakan, & Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik,
(Jakarta: Erlangga, 2010), hlm. 48.
[8] Ridwan HR, mengutip A. Hamid Attamini, Der Rechstaat Republik
Indonesia dan Prespektifnya menurut Pancasila dan UUD 1945, makalah pada Seminar
Sehari dalam Rangk Dies Natalis Universitas 17 Agustus Jakarta ke 42,
diselenggarakan Univerrsitas 17 Agustus Jakarta 9 Juli 1994 dalam Hukum
Adminsitrasi Negara (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada : 2011).hlm. 18
[9] Ridwan HR, mengutip E.Utrecht dalam Pengantar Hukum Adminstrasi
Negara Indonesia, dalam Hukum Adminsitrasi Negara. Ibid.
[10] Bagir Manan, Pemikiran Negara
Berkonstitusi Indonesia, Makalah pada Temu ilmiah Nasional, Fakultas Hukum
Universitas Padjajaran, Bandung 6 April 199. Hlm 2
0 komentar:
Posting Komentar