ALLAHU AKBAR (!/?)

Jumat, 02 Mei 2014 0 komentar


ALLAHU AKBAR (!/?)
Subuh menara masjid mengumandangkan “Allahu akbar”, sontak terdengar di telinga kami, apakah itu merasuk ke hati atau hanya singgah pada hati yang keruh. Tapi bagi kami lafadh itu adalah suatu harapan besar, bahwa pagi ini tidak ada lagi kesombongan pejabat birokrasi,mereka mau singgah dalam perjalanannya ke kantor untuk hanya sekedar mendengarkan keluh kesah rakyat, bukan hanya iring- iringan mobil dengan kawalan serta teriakan kasar agar kami membuka jalan bagi “penguasa”, kekuasaan yang direbut dari rakyat. Karena dengan lafadh “Allahu akbar” seharusnya mereka sadar bahwa DIA lah pemilik kekuasaan absolute.
Dhuhur kembali lafadh “Allahu Akbar” di kumandangkan, harapan lagi bagi kami , bahwa siang ini tidak ada lagi caci maki di jalanan untuk para penguasa sombong karena protes yang kami kirimkan hanya sebagai pengisi tong sampah di kantor milik rakyat, dimana aspirasi kami seharusnya selalu diperhatikan. Siang ini tidak ada lagi desakan antrian subsidi, sarjana pengagguran, atau satu nota kesepakatan ditanda tangani untuk kepentingan rakyat, pembahasan APBN yang menitik beratkan kesejahteraan rakyat, pajak yang kami bayarkan digunakan untuk kepentingan umum sebagai penjabaran dari asas perpajakan itu sendiri yaitu gotong royong, sebagaian tanah yang dimiliki para “tuan tanah” di bagikan kepada petani yang tidak memiliki lahan untuk di garap. Bukan rapat talik ulur politik untuk pencitraan pemimpin partai , atau perjuangan para pecinta kekuasaan yang bersatu padu membentuk kesatuan kekuatan politik untuk kekuasaan. Apakah “Akbar” adalah betuk kata jamak, yang berarti banyak besar- besar yang lain, bukankah “akbar” berarti yang paling, tidak ada tandingannya?
Ashar azan dikumandangkan lagi, Sore ini kami berharap TIMNAS sepak bola kami dengan 22 pemain terbaik yang dimiliki Indonesia terbentuk untuk suatu prestasi, bukan perebutan kekuasaan kecil, perang urat saraf antara “sang pendekar’ dengan pemerintah yang tidak ubahnya pahlawan kesiangan untuk kantong ataupun pencitraan, entahlah.
Magrib, kami berharap semua sudah usai, para pemegang kekuasaan menyadari makna “Allahu Akbar”, rakyat memproleh hak- haknya, petani memiliki lahan, koruptor di jatuhi hukuman yang memberikan efek jera, karena dengan efek jera hukum bisa efektif sebagai syarat dari keabsahan hukum, para buruh melihat bayangan anaknya yang bukan lagi sebagai buruh.
Isya azan kembali dikumandangkan, tapi hanya berita tentang keluhan kami yang kami saksikan telah menjadi kenyataan.
Lafadh “Allahu Akbar” memerintahkan “penguasa” sebagai pengatur bukan memiliki, bukan “tuan tanah, karena yang memiliki adalah Yang Maha Besar, “Allahu Akbar” memingangatkan kita tentang konsep manusia yang dapat hidup tanpa kesenjangan sosial dan ekonomi.adalah negara sebagai pernatara, memberikan kepastian tentang hak- hak rakyat yang secara langsung mereflesikan “kewajiban” bukan pengambilan hak- hak kami melalui proses pemilihan umum yang kemudian di komersialisasikan. “Allahu Akbar” menyerukan konsep Islam diterapkan secara substansif bukan penekanan dengan symbol, yang dijadikan alat untuk merebut kekuasaan lama dengan kekuasaan baru yang keduanya identik sama, Konsep Islam tidak serupa konsep sosial komunis Karl Marx, walaupun memiliki starting point pandangan sama tentang sosial tetapi jauh bersebrangan dalam konsep kepemilikan individu karena konsep islam mewajibkan prolehan kebahagiaan lewat usaha dan orang yang berusaha ini dapat menikmati hasil usahanya tanpa mengabaikan adanya hak orang lain dalam kesuksesannya, inilah yang ditekankan dalam zakat maupun pungutan pajak, dimana kelebihan kekayaan di serhakan kepada Negara untuk di distribusikan bagi mereka yang membutuhkan, konsep Islam juga tidak seperti konsep kapitalis yang mengabaikan kepentingan kolektif manusia, karena konsep kapitalis tidak ubahnya dengan hukum rimba. Dari segi tata Negara konsep Islam tidak pernah menekankan bentuk Negara kerajaan, jika hal ini diharapkan mengapa tidak diangkat raja dari keturunan Nabi Muhammad yang di tunjuk ketika beliau masih hidup, mengapa hanya para “ahlul bait” yang ia jelaskan statusnya tapi bukan menunjuk keluarganya sebagai raja,bukankah beliau hanya meninggalkan petunjuk bahwa tongkat kepimimpinan di serhakan kepada umat Muslim?. di samping itu Negara berbentuk kerajaan hanya memberikan petunjuk bahwa ada satu suku yang lebih tinggi dari suku yang lain yaitu suku keluarga para raja, bukankah ini fasisme kecil yang diterapkan dalam bernegara?.
Kosep “hak”, manusia yang dimiliki individu, membentuk kelompok agar haknya dapat dijaga bersama dari serangan kelompok lain. Perkembangan berfikir dari tradisional ke masyarkat modern yaitu masyrakat hukum, membentuk Negara sebagai pengatur dengan adanya landasan kerja Negara yaitu konstitusi yang merupakan persetujuan umum, dari setiap kelompok yang di Indonesia di kenal dengan masyarakat desa, tugas Negara lah yang mengatur hak masyarakat desa ini yang memiliki sistem yang lebih demokratis dari konsep demokrasi yang mutakhir dan hal ini sudah ada sebelum Negara ada, malah masyarakat desa ini lah yang membentuk Negara. Negara dan pejabat di serahi amanah untuk pengatur agar tidak terjadi kekacauan, bukan suatu organisasi perampok hak.
 Dari tanah yang subur ini kami lahir, tanah ini adalah ibu pertiwi kami, maka gunakan lah tanah ini untuk kesejahteraan kami, bila kebutuhan kami sudah terpenuhi, bantulah saudara kami di belahan Negara lainnya. Wahai para pemegang kekuasaan dengarlah lafadh “Allahu Akbar’ agar kalian mengerti arti kekuasaan yang hakiki. Jangan menjadi Fir’aun yang baru yang mendeksripsikan kekuasaan dengan logika butanya.

0 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 Iyunk | TNB