ALLAHU AKBAR (!/?)
Subuh
menara masjid mengumandangkan “Allahu akbar”, sontak terdengar di telinga kami,
apakah itu merasuk ke hati atau hanya singgah pada hati yang keruh. Tapi bagi
kami lafadh itu adalah suatu harapan besar, bahwa pagi ini tidak ada lagi
kesombongan pejabat birokrasi,mereka mau singgah dalam perjalanannya ke kantor
untuk hanya sekedar mendengarkan keluh kesah rakyat, bukan hanya iring- iringan
mobil dengan kawalan serta teriakan kasar agar kami membuka jalan bagi
“penguasa”, kekuasaan yang direbut dari rakyat. Karena dengan lafadh “Allahu
akbar” seharusnya mereka sadar bahwa DIA lah pemilik kekuasaan absolute.
Dhuhur
kembali lafadh “Allahu Akbar” di kumandangkan, harapan lagi bagi kami , bahwa
siang ini tidak ada lagi caci maki di jalanan untuk para penguasa sombong
karena protes yang kami kirimkan hanya sebagai pengisi tong sampah di kantor
milik rakyat, dimana aspirasi kami seharusnya selalu diperhatikan. Siang ini
tidak ada lagi desakan antrian subsidi, sarjana pengagguran, atau satu nota
kesepakatan ditanda tangani untuk kepentingan rakyat, pembahasan APBN yang menitik
beratkan kesejahteraan rakyat, pajak yang kami bayarkan digunakan untuk
kepentingan umum sebagai penjabaran dari asas perpajakan itu sendiri yaitu
gotong royong, sebagaian tanah yang dimiliki para “tuan tanah” di bagikan
kepada petani yang tidak memiliki lahan untuk di garap. Bukan rapat talik ulur
politik untuk pencitraan pemimpin partai , atau perjuangan para pecinta
kekuasaan yang bersatu padu membentuk kesatuan kekuatan politik untuk
kekuasaan. Apakah “Akbar” adalah betuk kata jamak, yang berarti banyak besar-
besar yang lain, bukankah “akbar” berarti yang paling, tidak ada tandingannya?
Ashar
azan dikumandangkan lagi, Sore ini kami berharap TIMNAS sepak bola kami dengan
22 pemain terbaik yang dimiliki Indonesia terbentuk untuk suatu prestasi, bukan
perebutan kekuasaan kecil, perang urat saraf antara “sang pendekar’ dengan
pemerintah yang tidak ubahnya pahlawan kesiangan untuk kantong ataupun
pencitraan, entahlah.
Magrib,
kami berharap semua sudah usai, para pemegang kekuasaan menyadari makna “Allahu
Akbar”, rakyat memproleh hak- haknya, petani memiliki lahan, koruptor di jatuhi
hukuman yang memberikan efek jera, karena dengan efek jera hukum bisa efektif
sebagai syarat dari keabsahan hukum, para buruh melihat bayangan anaknya yang
bukan lagi sebagai buruh.
Isya
azan kembali dikumandangkan, tapi hanya berita tentang keluhan kami yang kami
saksikan telah menjadi kenyataan.
Lafadh
“Allahu Akbar” memerintahkan “penguasa” sebagai pengatur bukan memiliki, bukan
“tuan tanah, karena yang memiliki adalah Yang Maha Besar, “Allahu Akbar”
memingangatkan kita tentang konsep manusia yang dapat hidup tanpa kesenjangan
sosial dan ekonomi.adalah negara sebagai pernatara, memberikan kepastian
tentang hak- hak rakyat yang secara langsung mereflesikan “kewajiban” bukan
pengambilan hak- hak kami melalui proses pemilihan umum yang kemudian di
komersialisasikan. “Allahu Akbar” menyerukan konsep Islam diterapkan secara
substansif bukan penekanan dengan symbol, yang dijadikan alat untuk merebut
kekuasaan lama dengan kekuasaan baru yang keduanya identik sama, Konsep Islam
tidak serupa konsep sosial komunis Karl Marx, walaupun memiliki starting point pandangan
sama tentang sosial tetapi jauh bersebrangan dalam konsep kepemilikan individu
karena konsep islam mewajibkan prolehan kebahagiaan lewat usaha dan orang yang
berusaha ini dapat menikmati hasil usahanya tanpa mengabaikan adanya hak orang
lain dalam kesuksesannya, inilah yang ditekankan dalam zakat maupun pungutan
pajak, dimana kelebihan kekayaan di serhakan kepada Negara untuk di
distribusikan bagi mereka yang membutuhkan, konsep Islam juga tidak seperti
konsep kapitalis yang mengabaikan kepentingan kolektif manusia, karena konsep
kapitalis tidak ubahnya dengan hukum rimba. Dari segi tata Negara konsep Islam
tidak pernah menekankan bentuk Negara kerajaan, jika hal ini diharapkan mengapa
tidak diangkat raja dari keturunan Nabi Muhammad yang di tunjuk ketika beliau
masih hidup, mengapa hanya para “ahlul bait” yang ia jelaskan statusnya tapi
bukan menunjuk keluarganya sebagai raja,bukankah beliau hanya meninggalkan
petunjuk bahwa tongkat kepimimpinan di serhakan kepada umat Muslim?. di samping
itu Negara berbentuk kerajaan hanya memberikan petunjuk bahwa ada satu suku
yang lebih tinggi dari suku yang lain yaitu suku keluarga para raja, bukankah
ini fasisme kecil yang diterapkan dalam bernegara?.
Kosep
“hak”, manusia yang dimiliki individu, membentuk kelompok agar haknya dapat dijaga
bersama dari serangan kelompok lain. Perkembangan berfikir dari tradisional ke
masyarkat modern yaitu masyrakat hukum, membentuk Negara sebagai pengatur
dengan adanya landasan kerja Negara yaitu konstitusi yang merupakan persetujuan
umum, dari setiap kelompok yang di Indonesia di kenal dengan masyarakat desa,
tugas Negara lah yang mengatur hak masyarakat desa ini yang memiliki sistem
yang lebih demokratis dari konsep demokrasi yang mutakhir dan hal ini sudah ada
sebelum Negara ada, malah masyarakat desa ini lah yang membentuk Negara. Negara
dan pejabat di serahi amanah untuk pengatur agar tidak terjadi kekacauan, bukan
suatu organisasi perampok hak.
Dari tanah yang subur ini kami lahir, tanah ini
adalah ibu pertiwi kami, maka gunakan lah tanah ini untuk kesejahteraan kami,
bila kebutuhan kami sudah terpenuhi, bantulah saudara kami di belahan Negara
lainnya. Wahai para pemegang kekuasaan dengarlah lafadh “Allahu Akbar’ agar
kalian mengerti arti kekuasaan yang hakiki. Jangan menjadi Fir’aun yang baru
yang mendeksripsikan kekuasaan dengan logika butanya.
0 komentar:
Posting Komentar