Kasus Penyerangan LP.Cebongan (Tinjauan Yuridis)

Kamis, 01 Agustus 2013 0 komentar


          Kasus Penyerangan LP.Cebongan (Tinjauan Yuridis)


Pada tanggal 23 Maret 2013 lalu  terjadi peristiwa yang mencengangkan publik, yaitu penyerangan di Lapas Kelas IIB LP.Cebongan  Kab.Sleman, yang disangka kan dilakukan oleh 12 anggota Kopassus, perisitiwa ini telah menewaskan empat orang korban, atas nama Hendrik Benyamin Sahetapy Engel alias Deki, Yohanis Juan Mambait alias Juan, Adrianus Chandra Galaja alias Dedi, Gameliel Yermiyanto Rohi Riwu alias Adi. sampai saat ini proses peradilan telah berlangsung pada pada tahap pembacaan tuntutan. Sebelumnya,beradasrkan fakta di persidangan dari pemeriksaan saksi-saksi serta dari pengakuan tersangka di dapatkan bahwa hal yang melatar belakangi peristiwa ini adalah motif 'balas dendam' setelah sebelumnya 4 korban tersebut melakukan pembunuhan terhadap Serka Heru Santosa dan pembacokan Sertu Seriyono.

 Menanggapi kasus ini Komnas HAM sebagai lembaga yang diberikan kewenangan untuk melakukan penyelidikan terhadap dugaan adanya pelanggaran HAM berat , menyimpulkan bahwa dalam kasus ini  tidak terjadi pelanggaran HAM berat, namun yang terjadi adalah pelanggaran HAM biasa. Sedikitnya ada 4 dugaan pelanggaran HAM tersebut, Pertama, yakni menghilangkan hak untuk hidup. Empat tahanan dibunuh dengan cara ditembak berkali-kali di kepala. Penembakan tetap dilakukan meskipun sudah dalam keadaan tewas. Kedua, pelanggaran hak untuk tidak mendapat perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat. Ketiga, hak untuk memperoleh keadilan. Pembunuhan empat tahanan itu dilakukan di luar proses hukum. Keempat, pelanggaran hak atas rasa aman. Peristiwa di Cebongan, menurut Komnas HAM, menimbulkan rasa ketakutan dan kekhawatiran yang dialami para tahanan, aparat kepolisian, petugas lapas, warga DIY yang berasal dari Nusa Tenggara Timur, dan masyarakat DIY pada umumnya. Kelima, pelanggaran hak milik. Para pelaku mengambil monitor CCTV, kamera CCTV, perekam CCTV, ponsel, dan melakukan perusakan pintu. Dengan adanya hasil penyelidikan tersebut maka, pengadilan HAM tidak memiliki kompetensi untuk mengadili kasus ini dan dilimpahkan kepada Pengadilan Militer sesuai dengan ketentuan dalam UU. No.31 Tahun 1997.

Proses pengadilan yang telah dimulai pada tanggal 26-Juni-2013 sampai saat ini (31-7-2013) telah sampai pada tahap penuntutan. Dalam sidang pengajuan tuntutan tanggal 31-juli -2013 di pengadilan Militer, Oditur Letkol Sus Budiharto menuntut terdakwa 1, yakni Serda Ucok Tigor Simbolon, dengan hukuman 12 tahun penjara dari hukuman maksimal yaitu hukuman mati. Pelaku eksekusi empat tahanan LP Kelas IIB Cebongan, Sleman, itu dinilai oditur telah melanggar dakwaan primair Pasal 340 jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP, dan kedua Pasal 103 Ayat (1) jo Ayat (3) ke-3 KUHP Militer. Sementara itu, dua terdakwa lainnya, yakni Serda Sugeng Sumaryanto dan Koptu Kodik, masing-masing dituntut 10 tahun dan 8 tahun penjara serta hukuman pemecatan dari dinas militer. Keduanya juga dianggap terbukti melanggar dakwaan primer mengenai pembunuhan berencana dan tentang tidak menaati perintah atasan.

Adapun alasan oditur militer mengajukan tuntutan yang tidak maksimal yaitu berdasarakn Pasal 340 adalah Hukuman mati,  adalah karena adanaya unsur-unsur peringan di antaranya tidak semua masyarakat mencela perbuatan terdakwa, bahkan sebagian warga Yogya merasa diuntungkan dengan tindakan tersebut terdakwa telah beberapa kali mengikuti tugas operasi militer dan kemanusiaan; para terdakwa belum pernah di hukum dan; secara kesatria mengakui perbuatanya, dan semata-mata untuk membela kehormatan Korps (Kompas :31 Juli 2013).

Apakah terjadi pelanggaran HAM berat ?

Seperti yang telah disebutkan di atas, menurut Komnas HAM dalam kasus ini hanya terjadi pelanggaran HAM biasa. Sebelumnya yang perlu di ingat kembali dalam Hukum Acara Peradilan HAM berdasarkan UU No.26 Tahun 2002 pasal 18 ayat 1 dan 2 memberikan kewenangan kepada Komnas HAM  sebelum ditindak dalam tahap penyidikan yang langsung diketuai oleh Jaksa Agung, apabila kasus pelanggaran HAM terjadi setalah UU ini diberlakukan.
Untuk melihat persoalan ini lebih terstruktur pertanyaan pertama yang mengemuka adalah, apakah keputusan Komnas HAM tersebut sudah benar, perlu di tengok kembali Surat Terbuka Kontras kepada Komnas HAM yang mendesak Komnas HAM untu melakukan penyelidikan Pro Justicia, karena adanya dugaan kejahatan terhadap kemnusiaan yang dilakukan oleh oknum Kopasus. Berikut kutipan dari Surat Terbuka tersebut :
 
“Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa; 1.pembunuhan; 2. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-sewenang yang melanggar asas-asas ketentuan pokok hukum intenasional; 3. penyiksaan.

untuk menyimpulkan yang dimaksud dengan kejahatan kemanusiaan kita perlu melihat kembali apa yang dimaksud dengan pelanggaran HAM, dalam UU No.39 Tahun 1999 disebutkan bahwa :

Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok
orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian
yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau
mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh
Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan
memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme
hukum yang berlaku.

Dalam prespektif kualitasnya, pelanggaran HAM dibedakan menjadi pelanggaran HAM berat dan pelanggaran HAM biasa. pelanggaran HAM berat adalah pelanggaran HAM yang diatur oleh UU No.20 Tahun 2000, sendangkan pelanggaran HAM biasa adalah pelanggaran HAM yang diatur diluar UU tersebut (dalam hal ini adalah UU No.39 Thn 1999 dan KUHP). Adapun unsur sesuatu perbuatan melanggar HAM di kategorikan dalam pelanggaran HAM berat meliputi dua hal yaitu : Kejahatan Genosida dan Kejahatan terhadap kemanusiaan (Pasal 7 Poin a dan b, UU No.20 thn 2000). Yang dimaksud dengan kejahatan Genosida adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan,memusnahkan, seluruh atau sebagian kelompok bangsa,ras, kelompok etnis, kelompok agama.

Adapun yang di sasar oleh kontras dalam mengkategorikan kasus ini sebagai pelanggaran HAM berat adalah pada unsur yang termuat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan beradasrkan Pasal 9 UU ini disebutkan bahwa kejahatan kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.
 
Dalam hal ini menurut penulis menggaris bawahi kalimat " bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil dan meluas atau sistematik. Terlebih dahulu kita pusatkan perhatian pada kata "meluas dan sistematik", dalam penjelasan ayat ini disebutkan kalimat 'sudah jelas", namun hal itu justru mengaburkan pengertian meluas atau sistematik ini. menurut keyakinan penulis menelaah dari tujuan di UU-kannya pelanggaran HAM berat ini adalah untuk menghidari konflik vertikal maupun horizontal, maka yang dimaksud dengan meluas ini didasarkan pada jumlah korban yang homogen dari kelompok tertentu, kemudian di tambah dengan kata sistematis berarti suatu perbuatan yang dilakukan secara terstruktur dan tertata dengan rapi, dalam hal ini yang dimaksudkan adalah pembunuhan terencana seperti yang tertuang dalam Pasal 340 KUHP. yang menjadi pertanyaan berikutnya, apakah suatu pembunuhan berencana sudah pasti digolongkan dalam pelanggaran HAM berat? untuk menjawab pertanyaan ini dihubungkan denga kalimat: "bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil" dalam penjelasan ayat ini disebutkan bahwa ; Yang di maksud dengan "serangan yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil adalah suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil sebagai kelanjutan kebijakan penguasa atau kebijakan yang berhubungan dengan organisasi. 

Jadi dari paparan di atas, untuk menafisrkan kategori kejahatan kemanusiaan kita harus melihat ayat ini sebagi suatu sistem yang tidak bisa dipisahkan untuk berdiri masing-masing, melainkan di tafsirkan secara utuh, untuk lebih mudah penulis menafsirkan ketentuan di atas dengan kalimat : kejahatan kemanusiaan adalah serang terhadap penduduk sipil yang dilakukan oleh dan berdasarkan kebijakan penguasa atau kebijakan yang berhubungan dengan organisasi secara meluas atau sistematis.

Setelah kita menangkap unsur-unsur perbuatan agar sesuatu kejahatan pembunuhan masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat, maka unsur ini perlu diteliti, apakah ia ditemukan dalam kasus pembunuhan di LP.Cebongan. Untuk melihat hal ini tidak ada cara lain selain, mengorek informasi dari menit-permenit sebelum dan saat terjadinya pembunuhan. Dalam pemeriksaan pendahuluan, berdasarkan pengakuan Tersangka hal yang memotivasi terjadinya pembunuhan adalah karena sebelumnya adanya peristiwa pembunuhan yang dilakukan ke empat penghuni di LP.Cebongan terhadap Serka Heru Santosa. Tersangka sendiri melakukan eksekusi terhadap  4 penghuni LP.Cebongan sesaat setelah terjadi pembacokan di Hugo's Cafe terhadap Sertu Seryono yang kebetulan dilakukan oleh orang-orang asal daerahnya sama dengan penghuni LP.cebongan tersebut.

Adanya rangkaian kasus di atas, banyak orang-orang yang mencoba menghubungkan kasus pembacokan dengan pembunuhan serta penyerangan sebagai satu rangkaian peristiwa yang saling berhubungan, sehingga unsur kata "meluas atau sistematis serta adanya arahan organisasi terpenuhi sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun meskipun hal tersebut saling berhubungan sangat sulit hal tersbut dikatakan sebagai suatu yang arahan organisasi, meluas dan sistematis. hal ini dapat dilihat dari tersangka Serda Ucok Tigor Simbolon yang dalam struktur organisasi Kopasus kedudukannya setara dengan tersangka lainya, serta pelaku eksekusi berupa penembakan hanya dilkukan oleh satu orang, tersangka lain hanya ada pada tahap turut membantu setelah sebelumnya mendapat ajakan dari Serda Ucok yang diakuinya berdasarkan 'Jiwa Korsa". Adapun proses pembunuhan yang sepertinya tersistem ini tidak lepas dari pelatihan khusus yang didapatkan setiap anggota Kopasus, dan perlu diingat bahwa proses pembunuhan dalam taraf pasukan terlatih hal ini tergolong "tidak halus' dari situ dapat dilihat yang terjadi adalah spontanitas.

Menarik kesimpulan di atas, bahwa sudah tepat apabila Komnas HAM tidak menganggap hal ini sebagai pelanggaran HAM berat namun lebih merupakan Pelanggaran HAM dalam hal ini adalah 1. Pelanggaran hak hidup; 2. pelanggaran untu tidak melkukan perbuatan yang kejam; 3.hak untuk memproleh keadilan 4. hak atas rasa aman. penegakan HAM sendiri salah satunya adalah melalui KHUP.

Penuntutan Yang Terlalu Ringan

Masih segar dalam ingatan kita bagaiman peristiwa Tanjung Priok, Hilangnya aktivis masa orde baru, serta tindak pidana yang berhubungan dengan TNI yang tidak terselasaikan dengan tuntas. banyak yang berpendapat, posisi pengadilan militer yang masuk dalam hierarki TNI itu sendiri, menyebabkan jiwa komando merasuki dalam penegakan hukum, sehingga pengadilan militer yang ada seperti miniatur pengadilan masa orde baru. Namun, hal itu tidak di bahas dalam tulisan ini, yang akan di bahas dalam ini apakah tuntutan yang diajukan oditur militer sudah tepat atau tidak. menyegarkan kemabali ingatan, tuntutan oditur seperti yang telah di sebutkan diatas, yaitu ;
 
1. Serda Ucok Simbolan             :12 Tahun penjara, terbukti melanggar Pasal 340 KUHP Jo   Pasal 55 ayat 1 KUHP
2. Serda Sugeng Surmayanto   : 10 Tahun Penjara, dengan dakwaan primari Pasal 34o KUHP Jo Pasal 55 ayat 1
3. Koptu kodik                           : 8 Tahun penjara, dengan dakwaan primair Pasal 340 KUHP Jo Pasal 55 ayat 1

Sangat berbeda dengan dugaan pelanggaran HAM yang diajukan oleh Komnas HAM, dalam hal ini oditur hanya memandang adanya pelanggaran HAM menghilangkan nyawa orang lain, yang di kategorikan dalam pembunuhan berencana yang dilakukan secara bersama-sama, di lain pihak juga tuntutan yang idajukan tidak maksimal, yaitu hanya 12 , 10,dan 8 Tahun dari yang batasan maksimum yang ditentukan oleh Pasal 340 KUHP yaitu Pidana mati,seumur hidup, atau dalam kurun waktu tertentu, maksimal 20 tahun. Menurut oditur tidak maksimalnya penuntutan di sebabakn karena ada nya alasan peringan dianataranya adalah tidak semua masyarakat mencela perbuatan terdakwa, bahkan sebagian warga Yogya merasa diuntungkan dengan tindakan tersebut terdakwa telah beberapa kali mengikuti tugas operasi militer dan kemanusiaan; para terdakwa belum pernah di hukum dan; secara kesatria mengakui perbuatanya, dan semata-mata untuk membela kehormatan Korps. Di bawah ini penulis mencoba mengkrtisi benar atau tidaknya alasan peringan tersebut.

Dalam kasus pidana ada alasan pemaaf yang dapat meringankan atau bahkan membebaskan pelaku tindak pidana, hal ini di atur dalam BAB III Buku II KUHP Pasal 44-52a., alasan yang meringankan di antarnaya adalah belum dianggap dewasa (dalam Hukum Pidana dianggap dewasa apabila telah mencapai 17 tahun), karena adanya tindakan memaksa, adanya goncangan psikologi, karena melaksanakan ketentuan UU, di perintahkan oleh atasan yang memiliki wewenang, di wajibkan oleh jabatan. Melihat alasan peringan di atas yang diajukan oleh oditur memang tidak tercantum dalam KUHP, namun sudah kelaziman ada peretimbangan-pertimbangan lain yang dapat meringankan hukuman, adapun perbadaannya adalah ketika alasan pembenar dalam KUHP di penuhi dan dapat dibuktikan adanya, maka mutlak pelaku mesti dibebaskan, namun pada hal yang terakhir dosebutkan masi perlu penalaran dan analisis oleh hakim terhadap dampaknya kedepan.

Di sini penulis, coba kembali membahas, apakah alasan di atas mampu dijadikan dasar dalam penuuntutan, di antaranya adalah adanya dukungan dari masyarakat dan membela kehormatan korps, untuk karena pernah terlibat dalam urusan kemanusiaan disingkirkan terlebih dahulu.

1. Membela kehormatan Korps

Membela kehormatan Korps sering dianggap mengena pada pasal 49 BAB III Buku kesatu KUHP tentang karena adanya guncangan psikologi. hal ini merupakan pengenaan yang salah, karena dalam hal terjadi guncangan jiwa di buktikan dengan posisi tersangka ketika terjadi peristiwa sebelumnya yang saling berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan olehnya. Untuk mengatakan seseorang mengalami kegoncangan jiwa diperlukan Psikolog untuk melakukan analisis. Adapun perbedaan guncangan jiwa dengan kelainan jiwa adalah, jika kelainan jiwa sudah ada sebelum rangkaian peristiwa maka goncanag jiwa ada setelah atau sementara terjadinya serangkaian peristiwa yang menuntut untuk melakukan penyerangan.


Membela kehormatan Korps disini lebih dekat pada, adanya 'jiwa korsa; dalam satuan Kopasus itu sendiri, untuk menafsirkan tindakannnya memproleh alasan pemaaf, maka yang perlu di analisa adalah apakah penerapan jiwa korsa itu sendiri sudah tepat. kita lihat komentar dari komentar dari mantan Jendral Kopassus Letnan jendral (Pur) Sutiyoso:

"Dalam konteks ini kebersamaan atau jiwa korsa yang dilakukan tentu itu barang yang salah,     lebih  hal ini lebih pada merupakan aksi-reaksi. Di pasukan elit seperti Kopassus, satuan kecil direkrut secara ketat, dipersenjatai secara khusus dan diberikan tugas khusus yang tidak mungkin dilakukan pasukan biasa. Sehingga kebersamaan yang dipupuk semakin erat, apalagi makin kecil kesatuannya jiwa korsa juga semakin tinggi. namun dirinya tidak menafikan adanya jiwa kebersamaan dalam peristiwa cebongan ini (BeritaSatu.com : sabtu, 6 April 2013)". 


Dalam melaksanakn tugasnya sendiri prajurit tidak bisa dilepaskan dari kekerasan yang dikenal dengan  "lisence to kill" tapi terdapat batasan-batasan kapan Lisence to Kill itu diterapkan di antaranya :

Pertama , Just war. Keabsahan seorang prajurit untuk melakukan tindak yang dikategorikan sejenis kekerasan/ membunuh lawan dalam suatu peperangan oleh karena konsekwensi logis  sebagai  Kekuatan pertahanan negara    yang memiliki legitimasi untuk berhadapan  dengan musuh dalam situasi perang yang diproklamirkan oleh pemerintah, maka prajurit mendapatkan keabsahanya melakukan penyerangan dalam  pertempuran, dan  terlebih obyek pantas untuk diserang, karena  negara memerlukan perlindungan dari berbagai ancaman.
Kedua, Death Penalty, atinya keabsahan prajurit dalam menggunakan otoritasnya mengangkat senjata dan memuntahkan peluru bagi seseorang yang dianggap bersalah/ berbahaya dan mengganggu kesejahteraan umum. Pada praktek ini prajurit biasanya dapat dilibatkan dalam eksekusi mati bagi terdakwa yang dijatuhi hukuman mati oleh penegak hukum/ Negara.
Ketiga, Legitimate self defance . artinya otoritas dan keabsahan untuk melakukan pembelaan diri dari ancaman yang membahayakan dirinya pada saat yang ada. Pada situasi ini, nyaris tidak ada pilihan  kecuali menyelamatkan diri dengan melakukan pembelaan yang secukupnya, itupun  pelaksanaanya digunakan secara seimbang.

 Dalam hal ini perlu dilihat, bahwa dalam menfsirkan sesuatu anggota TNI tentunya didasarkan pada akal sehat dalam berpikir, serta dengan penafsiran yang sesuai dengan keutuhan bangsa. 
 
2. Dukungan dari Masyarakat.

Dukungan dari masyarakat selalu menjadi dilema dalam pegenakan hukum, pasalnya tidak seluruh rakyat paham secara sempurna terhadap penegakan hukum, rakyat selalu menarik kesimpulan dari spontanitas, terutama di zaman di mana media mampu memberikan vonis saat ini. Yang di perlu di perhatikan dari penegak hukum adalah fungsi dari hukum itu sendiri, seperti yang kita ketahui salah satu fungsi hukum adalah sebagi alat perubahan masyarakat, walaupun pada kenyataannya hukum tertatih-tatih dalam perkembangan masyarakat, tetapi pada hal tertentu hukum harus mampu membawa masyarakat ke arah perubahan. Sebenarnya jelas dalam Kode Etik Hakim, hakim dilarang terbawa oleh opini publik, jika hal ini di taati tentunya Hakim mengabaikan hal ini, tetapi lebih berpikir pada dampak putusannya.

Jika kita melihat penegakan hukum secara utuh, dimana kepastian hukum semakin tergadaikan, dari rentetan kasus sebelumnya dimana Nenek mencuri buah karena alasan lapar, mampu dikenai hukuman berdasarkan pasal 362 KUHP, dalam penerapan ini sebenrnya hakim tidak salah, tetapi juga tidak tepat. Maksudnya jika didasarkan pada kepastian hukum, maka pencuri harus dihukum, tetap ketika hakim berani 'out the box" dengan melakukan penafsiran terlepas dari ketentuan UU dan hal itu (putusan hakim) memiliki kekuatan hukum yang sama kuat nya dengan UU, maka ini lebih tepat. Hubungannya dengan kasus ini adalah, hakim pengadilan militer di tantang untuk menerapkan hal sama seperti dari contoh kasus di atas tetapi dengan arah sebaliknya. Jika kasus sebelumnya lebih dikedepankan tujuan hukum dari segi kemanfaatan, maka pada kasus ini mestinya lebih dikedepankan pada hal kepastian hukum, karena hal ini berhubungan erat dengan kewibawaan negara, sebagai satu-satunya lembaga yang di berikan hak oleh konstitusi untuk melaksanakan sanksi (Hans kelsen ; Teori Hukum Murni). dari sudut pandang lain pada kasus ini sebenarnya seperti yang dikatakan oleh Komnas HAM. memberikan ketakutan pada warga NTT yang ada di Yogyakarta, terlebih Yogyakarta merupakan daerah pendidikan, jadi yang perlu diperhatikan adalah bagaimana dampak dari kasus ini dari dua sudut pandang.

Mengenai hal dampak positif dari penembakan tersebut, adalah menurut bebrapa orang yang penulis temui, bahwa angka keriminalitas menurun drastis, contohnya di pasar tidak ada lagi tukang palak. Tak heran jika dari belasan Ormas yang mendukung terdapat para penarik becak yang pernah kena palak. Akan tetapi ketika penegak hukum melegalkan legitimasi masyarakat terhadap 'superbody" yang diberikan kepada TNI, nanti akan menjadi Boomerang terhadap kelanjutan bangsa dan negara, kita sebelumnya telah diperlihatkan bagaimana pembangunan Orde Baru di mulai dengan merebut hati rakyat pada peristiwa G30 S PKI yang kontroversial. disini penulis tidak memvonis semua oknum TNI akan tetapi mengkhawatirkan adanya kemungkinan di tunggangi kepentingan politik.

Walaupun terdapat hal positif yang ditimbulkan oleh kejadian ini, tetapi hal itu lebih pada sesuatu yang kebetulan, analoginya begini : jika yang membunuh anggota Kopassus bukan dari kompolotan preman, apakah penembakan ini di anggap bermoral dan memiliki nilai positif, apalagi kita lihat fakta di persidangan semangat yang diusung pelaku adalah 'balas dendam' bukan pemberantasan preman. Kepada siapapun pembunuhan di tujukan jika tidak atas izin negara berdasarkan putusan pengadilan hal itu melanggar norma-norma. Memang pada jangka waktu pendek ini memberika dampak positif,yaitu berkurangnya aksi premanisme, setidaknya ada ketakutan yang ditimbulkan, tetap dalam jangka panjang legitimasi terhadap perbuatan melanggar hukum itu membahayakan Negara.
      
Kesimpulan :
1. Tidak pelanggaran HAM berat dari Kasus cebongan, akan tetapi melalui Pengadilan Militer, mestinya penuntutan mengenai dakwaan primair Pasal 340 BAB XIX Buku II KUHP tidak mesti mencapai dakwaan maksimal, namun tidak boleh terlalu mendekati angka minimal, mengingat hakim pada kasus pidana tidak memiliki kewenangan Ultra Petita, bisa saja dalam perkembangannya vonis malah semakin berkurang.
2. Hakim dalam putusannya harus mengedapankan Tujuan Hukum dalam hal kepastian Hukum dari yang lainnya,karena hal ini yang paling mendesak untuk mencegah kesewenangan dalam bertindak serta menyangkut kewibawaan negara dalam mengontrol aparaturnya


0 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 Iyunk | TNB