Kasus Penyerangan LP.Cebongan (Tinjauan Yuridis)
Pada tanggal 23
Maret 2013 lalu terjadi peristiwa yang
mencengangkan publik, yaitu penyerangan di Lapas Kelas IIB LP.Cebongan Kab.Sleman, yang disangka kan dilakukan oleh
12 anggota Kopassus, perisitiwa ini telah menewaskan empat orang korban, atas
nama Hendrik Benyamin Sahetapy Engel alias Deki, Yohanis Juan Mambait alias
Juan, Adrianus Chandra Galaja alias Dedi, Gameliel Yermiyanto Rohi Riwu alias
Adi. sampai saat ini proses peradilan telah berlangsung pada pada tahap pembacaan
tuntutan. Sebelumnya,beradasrkan fakta di persidangan dari pemeriksaan
saksi-saksi serta dari pengakuan tersangka di dapatkan bahwa hal yang melatar
belakangi peristiwa ini adalah motif 'balas dendam' setelah sebelumnya 4 korban
tersebut melakukan pembunuhan terhadap Serka Heru Santosa dan pembacokan Sertu
Seriyono.
Menanggapi kasus ini Komnas HAM sebagai lembaga yang
diberikan kewenangan untuk melakukan penyelidikan terhadap dugaan adanya
pelanggaran HAM berat , menyimpulkan bahwa dalam kasus ini tidak terjadi pelanggaran HAM berat, namun
yang terjadi adalah pelanggaran HAM biasa. Sedikitnya ada 4 dugaan pelanggaran
HAM tersebut, Pertama, yakni menghilangkan hak untuk hidup. Empat tahanan
dibunuh dengan cara ditembak berkali-kali di kepala. Penembakan tetap dilakukan
meskipun sudah dalam keadaan tewas. Kedua, pelanggaran hak untuk tidak
mendapat perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat. Ketiga,
hak untuk memperoleh keadilan. Pembunuhan empat tahanan itu dilakukan di luar
proses hukum. Keempat, pelanggaran hak atas rasa aman. Peristiwa di Cebongan,
menurut Komnas HAM, menimbulkan rasa ketakutan dan kekhawatiran yang dialami
para tahanan, aparat kepolisian, petugas lapas, warga DIY yang berasal dari
Nusa Tenggara Timur, dan masyarakat DIY pada umumnya. Kelima, pelanggaran hak
milik. Para pelaku mengambil monitor CCTV, kamera CCTV, perekam CCTV, ponsel,
dan melakukan perusakan pintu. Dengan adanya hasil penyelidikan tersebut maka,
pengadilan HAM tidak memiliki kompetensi untuk mengadili kasus ini dan
dilimpahkan kepada Pengadilan Militer sesuai dengan ketentuan dalam UU. No.31
Tahun 1997.
Proses pengadilan yang telah dimulai pada tanggal
26-Juni-2013 sampai saat ini (31-7-2013) telah sampai pada tahap penuntutan. Dalam
sidang pengajuan tuntutan tanggal 31-juli -2013 di pengadilan Militer, Oditur
Letkol Sus Budiharto menuntut terdakwa 1, yakni Serda Ucok Tigor Simbolon,
dengan hukuman 12 tahun penjara dari hukuman maksimal yaitu hukuman mati.
Pelaku eksekusi empat tahanan LP Kelas IIB Cebongan, Sleman, itu dinilai oditur
telah melanggar dakwaan primair Pasal 340 jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1
KUHP, dan kedua Pasal 103 Ayat (1) jo Ayat (3) ke-3 KUHP Militer.
Sementara itu, dua terdakwa lainnya, yakni Serda Sugeng Sumaryanto dan Koptu
Kodik, masing-masing dituntut 10 tahun dan 8 tahun penjara serta hukuman
pemecatan dari dinas militer. Keduanya juga dianggap terbukti melanggar dakwaan
primer mengenai pembunuhan berencana dan tentang tidak menaati perintah atasan.
Adapun alasan oditur militer mengajukan tuntutan yang
tidak maksimal yaitu berdasarakn Pasal 340 adalah Hukuman mati, adalah karena adanaya unsur-unsur peringan di
antaranya tidak semua masyarakat mencela
perbuatan terdakwa, bahkan sebagian warga Yogya merasa diuntungkan dengan
tindakan tersebut terdakwa telah beberapa kali mengikuti tugas operasi militer
dan kemanusiaan; para terdakwa belum pernah di hukum dan; secara kesatria
mengakui perbuatanya, dan semata-mata untuk membela kehormatan Korps (Kompas
:31 Juli 2013).
Apakah
terjadi pelanggaran HAM berat ?
Seperti yang telah disebutkan di atas, menurut Komnas HAM
dalam kasus ini hanya terjadi pelanggaran HAM biasa. Sebelumnya yang perlu di
ingat kembali dalam Hukum Acara Peradilan HAM berdasarkan UU No.26 Tahun 2002
pasal 18 ayat 1 dan 2 memberikan kewenangan kepada Komnas HAM sebelum ditindak dalam tahap penyidikan yang
langsung diketuai oleh Jaksa Agung, apabila kasus pelanggaran HAM terjadi
setalah UU ini diberlakukan.
Untuk
melihat persoalan ini lebih terstruktur pertanyaan pertama yang mengemuka
adalah, apakah keputusan Komnas HAM tersebut sudah benar, perlu di tengok
kembali Surat Terbuka Kontras kepada Komnas HAM yang mendesak Komnas HAM untu
melakukan penyelidikan Pro Justicia,
karena adanya dugaan kejahatan terhadap kemnusiaan yang dilakukan oleh oknum Kopasus.
Berikut kutipan dari Surat Terbuka tersebut :
“Kejahatan terhadap
kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu
perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau
sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung
terhadap penduduk sipil, berupa; 1.pembunuhan; 2. perampasan kemerdekaan atau
perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-sewenang yang melanggar
asas-asas ketentuan pokok hukum intenasional; 3. penyiksaan.
untuk menyimpulkan yang dimaksud dengan kejahatan kemanusiaan kita perlu
melihat kembali apa yang dimaksud dengan pelanggaran HAM, dalam UU No.39 Tahun
1999 disebutkan bahwa :
Pelanggaran
hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok
orang
termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian
yang
secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau
mencabut
hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh
Undang-undang
ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan
memperoleh
penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme
hukum yang berlaku.
Dalam prespektif kualitasnya, pelanggaran HAM dibedakan
menjadi pelanggaran HAM berat dan pelanggaran HAM biasa. pelanggaran HAM berat
adalah pelanggaran HAM yang diatur oleh UU No.20 Tahun 2000, sendangkan
pelanggaran HAM biasa adalah pelanggaran HAM yang diatur diluar UU tersebut
(dalam hal ini adalah UU No.39 Thn 1999 dan KUHP). Adapun unsur sesuatu
perbuatan melanggar HAM di kategorikan dalam pelanggaran HAM berat meliputi dua
hal yaitu : Kejahatan Genosida dan Kejahatan terhadap kemanusiaan (Pasal 7 Poin
a dan b, UU No.20 thn 2000). Yang dimaksud dengan kejahatan Genosida adalah
perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan,memusnahkan, seluruh
atau sebagian kelompok bangsa,ras, kelompok etnis, kelompok agama.
Adapun yang di sasar oleh kontras dalam mengkategorikan
kasus ini sebagai pelanggaran HAM berat adalah pada unsur yang termuat dalam
kejahatan terhadap kemanusiaan beradasrkan Pasal 9 UU ini disebutkan bahwa
kejahatan kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian
dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara
langsung terhadap penduduk sipil.
Dalam hal ini menurut penulis menggaris bawahi kalimat "
bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil dan meluas
atau sistematik. Terlebih dahulu kita pusatkan perhatian pada kata "meluas dan sistematik", dalam
penjelasan ayat ini disebutkan kalimat 'sudah jelas", namun hal itu justru
mengaburkan pengertian meluas atau sistematik ini. menurut keyakinan penulis
menelaah dari tujuan di UU-kannya pelanggaran HAM berat ini adalah untuk
menghidari konflik vertikal maupun horizontal, maka yang dimaksud dengan meluas
ini didasarkan pada jumlah korban yang homogen dari kelompok tertentu, kemudian
di tambah dengan kata sistematis berarti suatu perbuatan yang dilakukan secara
terstruktur dan tertata dengan rapi, dalam hal ini yang dimaksudkan adalah
pembunuhan terencana seperti yang tertuang dalam Pasal 340 KUHP. yang menjadi
pertanyaan berikutnya, apakah suatu pembunuhan berencana sudah pasti digolongkan
dalam pelanggaran HAM berat? untuk menjawab pertanyaan ini dihubungkan denga
kalimat: "bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk
sipil" dalam penjelasan ayat ini disebutkan bahwa ; Yang di maksud dengan "serangan yang
ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil adalah suatu rangkaian
perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil sebagai kelanjutan kebijakan
penguasa atau kebijakan yang berhubungan dengan organisasi.
Jadi dari paparan di atas, untuk menafisrkan kategori
kejahatan kemanusiaan kita harus melihat ayat ini sebagi suatu sistem yang
tidak bisa dipisahkan untuk berdiri masing-masing, melainkan di tafsirkan
secara utuh, untuk lebih mudah penulis menafsirkan ketentuan di atas dengan
kalimat : kejahatan kemanusiaan adalah
serang terhadap penduduk sipil yang dilakukan oleh dan berdasarkan kebijakan penguasa
atau kebijakan yang berhubungan dengan organisasi secara meluas atau
sistematis.
Setelah kita menangkap unsur-unsur perbuatan agar sesuatu
kejahatan pembunuhan masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat, maka unsur ini
perlu diteliti, apakah ia ditemukan dalam kasus pembunuhan di LP.Cebongan. Untuk
melihat hal ini tidak ada cara lain selain, mengorek informasi dari menit-permenit
sebelum dan saat terjadinya pembunuhan. Dalam pemeriksaan pendahuluan,
berdasarkan pengakuan Tersangka hal yang memotivasi terjadinya pembunuhan adalah
karena sebelumnya adanya peristiwa pembunuhan yang dilakukan ke empat penghuni
di LP.Cebongan terhadap Serka Heru Santosa. Tersangka sendiri melakukan
eksekusi terhadap 4 penghuni LP.Cebongan
sesaat setelah terjadi pembacokan di Hugo's Cafe terhadap Sertu Seryono yang
kebetulan dilakukan oleh orang-orang asal daerahnya sama dengan penghuni
LP.cebongan tersebut.
Adanya rangkaian kasus di atas, banyak orang-orang yang
mencoba menghubungkan kasus pembacokan dengan pembunuhan serta penyerangan sebagai
satu rangkaian peristiwa yang saling berhubungan, sehingga unsur kata
"meluas atau sistematis serta adanya arahan organisasi terpenuhi sebagai
kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun meskipun hal tersebut saling berhubungan
sangat sulit hal tersbut dikatakan sebagai suatu yang arahan organisasi, meluas
dan sistematis. hal ini dapat dilihat dari tersangka Serda Ucok Tigor Simbolon
yang dalam struktur organisasi Kopasus kedudukannya setara dengan tersangka lainya,
serta pelaku eksekusi berupa penembakan hanya dilkukan oleh satu orang,
tersangka lain hanya ada pada tahap turut membantu setelah sebelumnya mendapat
ajakan dari Serda Ucok yang diakuinya berdasarkan 'Jiwa Korsa". Adapun
proses pembunuhan yang sepertinya tersistem ini tidak lepas dari pelatihan khusus
yang didapatkan setiap anggota Kopasus, dan perlu diingat bahwa proses
pembunuhan dalam taraf pasukan terlatih hal ini tergolong "tidak halus'
dari situ dapat dilihat yang terjadi adalah spontanitas.
Menarik kesimpulan di atas, bahwa sudah tepat apabila Komnas HAM tidak menganggap hal ini sebagai pelanggaran HAM berat namun lebih merupakan Pelanggaran HAM dalam hal ini adalah 1. Pelanggaran hak hidup; 2. pelanggaran untu tidak melkukan perbuatan yang kejam; 3.hak untuk memproleh keadilan 4. hak atas rasa aman. penegakan HAM sendiri salah satunya adalah melalui KHUP.
Penuntutan
Yang Terlalu Ringan
Masih segar dalam ingatan kita bagaiman peristiwa Tanjung
Priok, Hilangnya aktivis masa orde baru, serta tindak pidana yang berhubungan
dengan TNI yang tidak terselasaikan dengan tuntas. banyak yang berpendapat,
posisi pengadilan militer yang masuk dalam hierarki TNI itu sendiri,
menyebabkan jiwa komando merasuki dalam penegakan hukum, sehingga pengadilan
militer yang ada seperti miniatur pengadilan masa orde baru. Namun, hal itu
tidak di bahas dalam tulisan ini, yang akan di bahas dalam ini apakah tuntutan yang
diajukan oditur militer sudah tepat atau tidak. menyegarkan kemabali
ingatan, tuntutan oditur seperti yang telah di sebutkan diatas, yaitu ;
1.
Serda Ucok Simbolan :12 Tahun
penjara, terbukti melanggar Pasal 340 KUHP Jo
Pasal 55 ayat 1 KUHP
2.
Serda Sugeng Surmayanto : 10 Tahun
Penjara, dengan dakwaan primari Pasal 34o KUHP Jo Pasal 55 ayat 1
3.
Koptu kodik : 8
Tahun penjara, dengan dakwaan primair Pasal 340 KUHP Jo Pasal 55 ayat 1
Sangat berbeda dengan dugaan pelanggaran HAM yang
diajukan oleh Komnas HAM, dalam hal ini oditur hanya memandang adanya
pelanggaran HAM menghilangkan nyawa orang lain, yang di kategorikan dalam
pembunuhan berencana yang dilakukan secara bersama-sama, di lain pihak juga
tuntutan yang idajukan tidak maksimal, yaitu hanya 12 , 10,dan 8 Tahun dari
yang batasan maksimum yang ditentukan oleh Pasal 340 KUHP yaitu Pidana
mati,seumur hidup, atau dalam kurun waktu tertentu, maksimal 20 tahun. Menurut
oditur tidak maksimalnya penuntutan di sebabakn karena ada nya alasan peringan
dianataranya adalah tidak semua
masyarakat mencela perbuatan terdakwa, bahkan sebagian warga Yogya merasa
diuntungkan dengan tindakan tersebut terdakwa telah beberapa kali mengikuti
tugas operasi militer dan kemanusiaan; para terdakwa belum pernah di hukum dan;
secara kesatria mengakui perbuatanya, dan semata-mata untuk membela kehormatan
Korps. Di bawah ini penulis mencoba mengkrtisi benar atau tidaknya alasan peringan
tersebut.
Dalam kasus pidana ada alasan pemaaf yang dapat
meringankan atau bahkan membebaskan pelaku tindak pidana, hal ini di atur dalam
BAB III Buku II KUHP Pasal 44-52a., alasan yang meringankan di antarnaya adalah belum
dianggap dewasa (dalam Hukum Pidana dianggap dewasa apabila telah mencapai 17
tahun), karena adanya tindakan memaksa, adanya goncangan psikologi, karena
melaksanakan ketentuan UU, di perintahkan oleh atasan yang memiliki wewenang,
di wajibkan oleh jabatan. Melihat alasan peringan di atas yang diajukan oleh
oditur memang tidak tercantum dalam KUHP, namun sudah kelaziman ada
peretimbangan-pertimbangan lain yang dapat meringankan hukuman, adapun
perbadaannya adalah ketika alasan pembenar dalam KUHP di penuhi dan dapat
dibuktikan adanya, maka mutlak pelaku mesti dibebaskan, namun pada hal yang
terakhir dosebutkan masi perlu penalaran dan analisis oleh hakim terhadap
dampaknya kedepan.
Di sini penulis, coba
kembali membahas, apakah alasan di atas mampu dijadikan dasar dalam
penuuntutan, di antaranya adalah adanya dukungan dari masyarakat dan membela
kehormatan korps, untuk karena pernah terlibat dalam urusan kemanusiaan
disingkirkan terlebih dahulu.
1. Membela kehormatan
Korps
Membela kehormatan Korps sering dianggap mengena pada
pasal 49 BAB III Buku kesatu KUHP tentang karena adanya guncangan psikologi.
hal ini merupakan pengenaan yang salah, karena dalam hal terjadi guncangan jiwa
di buktikan dengan posisi tersangka ketika terjadi peristiwa sebelumnya yang
saling berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan olehnya. Untuk mengatakan
seseorang mengalami kegoncangan jiwa diperlukan Psikolog untuk melakukan
analisis. Adapun perbedaan guncangan jiwa dengan kelainan jiwa adalah, jika
kelainan jiwa sudah ada sebelum rangkaian peristiwa maka goncanag jiwa ada
setelah atau sementara terjadinya serangkaian peristiwa yang menuntut untuk
melakukan penyerangan.
Membela kehormatan
Korps disini lebih dekat pada, adanya 'jiwa korsa; dalam satuan Kopasus itu
sendiri, untuk menafsirkan tindakannnya memproleh alasan pemaaf, maka yang
perlu di analisa adalah apakah penerapan jiwa korsa itu sendiri sudah tepat.
kita lihat komentar dari komentar dari mantan Jendral Kopassus Letnan jendral
(Pur) Sutiyoso:
"Dalam konteks ini kebersamaan
atau jiwa korsa yang dilakukan tentu itu barang yang
salah, lebih hal ini lebih pada merupakan
aksi-reaksi. Di pasukan elit seperti Kopassus, satuan kecil direkrut secara
ketat, dipersenjatai secara khusus dan diberikan tugas khusus yang tidak
mungkin dilakukan pasukan biasa. Sehingga kebersamaan yang dipupuk semakin
erat, apalagi makin kecil kesatuannya jiwa korsa juga semakin tinggi. namun
dirinya tidak menafikan adanya jiwa kebersamaan dalam peristiwa cebongan ini
(BeritaSatu.com : sabtu, 6 April 2013)".
Dalam melaksanakn tugasnya sendiri prajurit tidak bisa
dilepaskan dari kekerasan yang dikenal dengan
"lisence to kill" tapi terdapat batasan-batasan kapan Lisence
to Kill itu diterapkan di antaranya :
Pertama , Just war.
Keabsahan seorang prajurit untuk melakukan tindak yang dikategorikan sejenis
kekerasan/ membunuh lawan dalam suatu peperangan oleh karena konsekwensi logis
sebagai Kekuatan pertahanan negara yang memiliki
legitimasi untuk berhadapan dengan musuh dalam situasi perang yang
diproklamirkan oleh pemerintah, maka prajurit mendapatkan keabsahanya melakukan
penyerangan dalam pertempuran, dan terlebih obyek pantas untuk
diserang, karena negara memerlukan perlindungan dari berbagai ancaman.
Kedua, Death
Penalty, atinya keabsahan prajurit dalam menggunakan otoritasnya mengangkat
senjata dan memuntahkan peluru bagi seseorang yang dianggap bersalah/ berbahaya
dan mengganggu kesejahteraan umum. Pada praktek ini prajurit biasanya dapat
dilibatkan dalam eksekusi mati bagi terdakwa yang dijatuhi hukuman mati oleh
penegak hukum/ Negara.
Ketiga, Legitimate
self defance . artinya otoritas dan keabsahan untuk melakukan pembelaan diri
dari ancaman yang membahayakan dirinya pada saat yang ada. Pada situasi ini,
nyaris tidak ada pilihan kecuali menyelamatkan diri dengan melakukan
pembelaan yang secukupnya, itupun pelaksanaanya digunakan secara
seimbang.Dalam hal ini perlu dilihat, bahwa dalam menfsirkan sesuatu anggota TNI tentunya didasarkan pada akal sehat dalam berpikir, serta dengan penafsiran yang sesuai dengan keutuhan bangsa.
2. Dukungan dari
Masyarakat.
Dukungan dari masyarakat selalu menjadi dilema dalam
pegenakan hukum, pasalnya tidak seluruh rakyat paham secara sempurna terhadap
penegakan hukum, rakyat selalu menarik kesimpulan dari spontanitas, terutama di
zaman di mana media mampu memberikan vonis saat ini. Yang di perlu di
perhatikan dari penegak hukum adalah fungsi dari hukum itu sendiri, seperti
yang kita ketahui salah satu fungsi hukum adalah sebagi alat perubahan
masyarakat, walaupun pada kenyataannya hukum tertatih-tatih dalam perkembangan
masyarakat, tetapi pada hal tertentu hukum harus mampu membawa masyarakat ke
arah perubahan. Sebenarnya jelas dalam Kode Etik Hakim, hakim dilarang terbawa
oleh opini
publik, jika hal ini di taati tentunya Hakim mengabaikan hal ini,
tetapi lebih berpikir pada dampak putusannya.
Jika kita melihat penegakan hukum secara utuh, dimana
kepastian hukum semakin tergadaikan, dari rentetan kasus sebelumnya dimana
Nenek mencuri buah karena alasan lapar, mampu dikenai hukuman berdasarkan pasal
362 KUHP, dalam penerapan ini sebenrnya hakim tidak salah, tetapi juga tidak
tepat. Maksudnya jika didasarkan pada kepastian hukum, maka pencuri harus
dihukum, tetap ketika hakim berani 'out the box" dengan melakukan
penafsiran terlepas dari ketentuan UU dan hal itu (putusan hakim) memiliki
kekuatan hukum yang sama kuat nya dengan UU, maka ini lebih tepat. Hubungannya
dengan kasus ini adalah, hakim pengadilan militer di tantang untuk menerapkan
hal sama seperti dari contoh kasus di atas tetapi dengan arah sebaliknya. Jika
kasus sebelumnya lebih dikedepankan tujuan hukum dari segi kemanfaatan, maka
pada kasus ini mestinya lebih dikedepankan pada hal kepastian hukum, karena hal
ini berhubungan erat dengan kewibawaan negara, sebagai satu-satunya lembaga
yang di berikan hak oleh konstitusi untuk melaksanakan sanksi (Hans kelsen ;
Teori Hukum Murni). dari sudut pandang lain pada kasus ini sebenarnya seperti yang dikatakan oleh
Komnas HAM. memberikan ketakutan pada warga NTT yang ada di Yogyakarta,
terlebih Yogyakarta merupakan daerah pendidikan, jadi yang perlu diperhatikan
adalah bagaimana dampak dari kasus ini dari dua sudut pandang.
Mengenai hal dampak positif dari penembakan tersebut,
adalah menurut bebrapa orang yang penulis temui, bahwa angka keriminalitas menurun
drastis, contohnya di pasar tidak ada lagi tukang palak. Tak heran jika dari
belasan Ormas yang mendukung terdapat para penarik becak yang pernah kena
palak. Akan tetapi ketika penegak hukum melegalkan legitimasi masyarakat
terhadap 'superbody" yang diberikan kepada TNI, nanti akan menjadi
Boomerang terhadap kelanjutan bangsa dan negara, kita sebelumnya telah
diperlihatkan bagaimana pembangunan Orde Baru di mulai dengan merebut hati
rakyat pada peristiwa G30 S PKI yang kontroversial. disini penulis tidak
memvonis semua oknum TNI akan tetapi mengkhawatirkan adanya kemungkinan di
tunggangi kepentingan politik.
Walaupun terdapat hal positif yang ditimbulkan oleh
kejadian ini, tetapi hal itu lebih pada sesuatu yang kebetulan, analoginya
begini : jika yang membunuh anggota Kopassus bukan dari kompolotan preman,
apakah penembakan ini di anggap bermoral dan memiliki nilai positif, apalagi
kita lihat fakta di persidangan semangat yang diusung pelaku adalah 'balas
dendam' bukan pemberantasan preman. Kepada siapapun pembunuhan di tujukan jika
tidak atas izin negara berdasarkan putusan pengadilan hal itu melanggar
norma-norma. Memang pada jangka waktu pendek ini memberika dampak positif,yaitu
berkurangnya aksi premanisme, setidaknya ada ketakutan yang ditimbulkan, tetap
dalam jangka panjang legitimasi terhadap perbuatan melanggar hukum itu
membahayakan Negara.
Kesimpulan
:
1. Tidak pelanggaran
HAM berat dari Kasus cebongan, akan tetapi melalui Pengadilan Militer, mestinya
penuntutan mengenai dakwaan primair Pasal 340 BAB XIX Buku II KUHP tidak mesti mencapai dakwaan maksimal, namun tidak boleh terlalu mendekati angka minimal, mengingat hakim pada kasus pidana tidak memiliki kewenangan Ultra Petita, bisa saja dalam perkembangannya vonis malah semakin berkurang.
2. Hakim dalam
putusannya harus mengedapankan Tujuan Hukum dalam hal kepastian Hukum dari yang
lainnya,karena hal ini yang paling mendesak untuk mencegah kesewenangan dalam
bertindak serta menyangkut kewibawaan negara dalam mengontrol aparaturnya



0 komentar:
Posting Komentar