RUMAH KITA "PANCASILA"

Jumat, 02 Mei 2014 0 komentar


 RUMAH KITA "PANCASILA"
Fakhrisya Zalili Sailan

Sebelum memulai mengemukakan gagasannya tentang dasar Negara Bung Karno menyerukan bahwa kemerdekaan yang ada di depan mata pada waktu itu bukan kemerdekaan Indonesia secara utuh, akan tetapi kemerdekaan itu adalah awal memerdekakan hati masing –masing individu bangsa Indonesia dengan menggunaka arah filosofis yang jelas dan satu. Dan seperti yang di kemukakan Habibie, bahwa sekarang Pancasila seperti terpojok dalam sudut gelap di antara sengitnya tarik ulur politik, dan itu terjadi setelah Reformasi, beliau tidak menafikan peranan massa Orde Baru dalam menghadirkan Pancasila hanya sekedar simbol mempertahankan kekuasaan, sehingga gagasan dari berjuta kepala rakyat Indonesia seperti terkurung dan hanya mampu dipendam, dan keadaan Negara yang seperti itu kemudian menyebabkan gelombang eksploitasi yang tidak tampak dipermukaan. Neokolonialisme mampu menguasai bangsa Indonesia melalui aktor- aktornya yang duduk dalam kabinet waktu itu. Jatuhnya Soeharto pada bulan mei tahun 1998 tidak lantas mengubah kondisi Indonesia yang lebih sejahtera apalagi mengembalikan Pancasila kepada Filosofis dasarnya, karena watak kepemimpinan Orde Baru ternyata telah mendarah daging pada siapa saja yang diserahi kepercayaan untuk memimpin bangsa. Bahkan aktivis yang getol memperjuangkan Orde Baru, pulang kampung dan mendirikan basis massa di daerah, ataupun sekte agama dan kelompok, baik dalam bentuk partai, LSM, Ormas bahkan lembaga dakwah sekalipun untuk melanggengkan ambisi politik. Kondisi seperti ini alih- alih memperbaiki kondisi hidup masyarakat malah telah memunculkan konflik horizontal yang puncaknya kita rasakan saat ini, ini adalah buah dari ambisi politik, orde baru diganti dengan orde baru dengan aktor yang berbeda untuk memperhalus kondisi yang tidak berubah ini, para tokoh politik menyebutnya massa “transisi demokrasi”, menumbuhkan kemerdekaan pada tiap-tiap hati bangsa Indonesia pun belum terwujud hingga sekarang. Keadaan seperti ini mirip pada dengan keadaan pasca revolusi Prancis sebelum Gramsci, Horkheimner, maupun Muhammad Arkokun menekanan “character building” melalui teori kritis Aufklarungnya. Beberapa Tahun terakhir setelah masyarakat semakin sadar akan kondisi hidup yang semakin mengenaskan seketika itu juga kesadaran akan hilangnya nilai- nilai Pancasila dan upaya mengembalikannya. Bung Karno sebagai “Penggali Pancasila” mengemukakan dasar fundamental atau yag kita kenal dengan Pilar Kebangasaan, yang kemudian menyederhanakan lima dari pnacasila menjadi tiga atau yang kita kenal dengan nama trisakti terdiri dari socio- nationalism, socio- democratie dan ke- Tuhanan.

SOOCIO-NATIONALISM
Socio- nationalism yang bila di pilah- pilah terdiri dari kebangsaan dan internasionalime yang disebutakan dalam sila ke 2 dan ke 3 Pancasila. Yang di maksud Bung Karno dengan kebangsaan adalah kesatuan suku- suku yang ada di Indonesia, baik itu suku bugis, Madura, sunda, bali, dayak dan ratusan lainnya suku di indonesia dalam lingkup bangsa Indonesia, kebangsaan Indonesia merupakan kesatuan dari setiap individu yang hidup di pulau- pulau yang bertebaran di antara samudera Hindia dan Samudera Atlantik inilah yang beliau katakana sebagai Geopolitik Indonesia. Beliau menyebutkan bahwa kebangsaan Indonesia hanya mampu diidirikan oleh kerajaan Sriwijiya, Majapahit, dan “seharusnya” NKRI sekarang ini. Otonomi daerah, yang kemudian berefek pada pemilahan langsung Kepala Daerah yang kemudian para “raja- raja” kecil di daerah menggunakan kekuatan suku sehingga menimbulkan rasa curiga- mencurigai satu sama lainnya adalah sosok yang paling bertanggung jawab akan terkikisnya kebangsaan ini.
Yang berikutnya adalah Internasionlism, yang beliau maksudkan dengan Internasionalime adalah keberdaaan Bangsa Indonesia tidak mengesampingkan adanya bangsa- bangsa lain yang patut dihormati. Kontribusi bangsa Indonesia dalam memajukan kehidupan masyarakat internasional adalah bagiamana menwarkan pancasila pada setiap bangsa di Negara- Negara belahan dunia, beliau mempraktekkannya ketika mengajak Asia- Afrika untuk menerapkan sistem Berdikari, karena pada saat neoliberalism melalui sistem kapitalisme nya menjadikan negra Asia- afrika dijadikan Negara konsumen yang sampai saat ini malah Indonesia adalah Negara kosumtif terbesar, utang luar negeri serta ketergantungan pada investor asing, ekspoiltasi habis- habisan pada SDA Indonesia merupakan penyebab utamanya, ternyata pemimpin Negara bisa dikatakan “cacat” konsep dalam menyusun kontrak, HPH, dan alih fungsi lahan pada masa transisi demokrasi, dan utang luar negeri Orde Baru merupakan pihak yang paling bertanggung jawab. Alih- alih memiliki rasa bersalah para kroni yang memiliki kekayaan besar pada zaman Orde Baru malah hendak bersaing dalam catur perpolitikan, tidak heran suatu ketika bangsa kita akan di jual oleh Mereka.
SOCIO-DEMOCRATIE
Di tegaskan dalam sila ke 4 dan sila 5, dalam mengemukakan pendapatnya tentang bentuk demokrasi Indonesia yang akan datang beliau terlebih dahulu mengkrtik sistem demokrasi barat, yang meskipun dalam Negara- Negara barat terdapat Badan Perwakilan akan tetapi yang bisa duduk dalam lembaga perwakilan adalah mereka yang memiliki modal atau biasa disebut “kaum burjois”, yang kemudian perbedaan kelas antara Kapital dan kelas pekerja tak terelakkan, bahkan eksploitasi terhadap kelas pekerja merupakan cirri khusus demokrasi barat. Demokrasi yang dimaksud Bung Karno adalah musyawarah, kesepakatan yang di ambil berdasarkan perundingan di antara semua elemen masyarakat apakah itu kaum pemodal maupun kaum pekerja semua harus terlibat dalam musyawarah sehingga semua kepentingan terakomodasi. Kita bandingkan dengan keadaan Orde Baru maupun Pasca Orde baru, demokrasi khas yang diharapakan Bung Karno tidak terwujud. Bentuk pemerintahan aritokrasi yang menerpakan control totaliter yang tidak mengizinkan oposisi, kalaupun ada oposisi maka pemusnahan  pemikiran yang bertolak belakang itu segera di lakukan, maka tetap saja kondisi lembaga permusyawaratan terdiri dari dua kelas yaitu penguasa dalam hal ini pemerintah dan budak dalam hal ini rakyat pribumi. Pada massa Reformasi hal ini tidak berbeda jauh, membludaknya partai yang tentunya membutuhkan pembiayaan mengadakan kerja sama dengan pengusaha, pengkaderan yang lemah, serta terburu- buru untuk berkuasa menyebabkan partai seperti perusahaan penjual kendaraan menuju kekuasaan, maka yang terjdai mereka yang duduk dalam lembaga perwakilan adalah pengusaha atau setidaknya kader partai yang memiliki “utang budi” kepada pemodal, maka lembaga perwakilan bukan tempat memusyawarahkan konsep untuk kesejahteraan rakyat, akan tetapi tarik ulur kepentingan dan kelanggengan kekuasaan.
Keadilan sosial, merupakan satu- satunya alternative untuk memberikan kedudukan bagi merekea yang menang kulaitas serta loyal dengan kepentingan rakyat, artinya rakyat tidak mudah  memperdagangkan kehidupannya untuk lima tahun hanya karena amplop yang diberikan. Hal ini dapat di capai ketika character building di kedepankan melalui pendidikan. Sepertinya teoti kritis aufklarung merupakan jalan keluar, konsentrasi terhadap pedidikan yang menwarkan epistemolgi yang plurisme tidak bekerja di bawah dogma pendidikan bersifat filosofis bukan teknis satu- satunya jalan sehingga “pencucian otak” tidak dilakukan oleh pengkhianat kedaulatan rakyat. Dan tidak ada gunanya apabila hanya sebagian besar atau hanya sebagian kecil yang memproleh pendidikan, maka pendidikan harus terjangkau oleh semua kalangan. Yang berikutnya tentang sosialisme di mana semua orang memiliki pekerjaan yang layak dan memiliki jaminan sosial bagi mereka yang kurang beruntung, lahan untuk petani, dan tempat tinggal yang layak serta makanan yang sehat bagi semua masyarakat Indeonesia. Akan tetapi dengan pertimbangan devisa Negara yang entah kemana perginya,permintaan penguahas lebih di utamakan dibanding kesejahteraan rakyat oleh “bapak- bapak” kita disenayan.
KETUHANAN
Termanifestasi dalam sila pertama, Bung Karno mengemukakan bahwa bangsa Indonesia harus memiliki Tuhan, karena ketauhidan akan memberikan jiwa dan moralitas pada tiap individu dan akhirnya pada keberadaan bangsa, beliau tidak menolak apabila Indonesia hendak menggunakan hukum Islam asalkan melalui kesepakatan dengan agama lain. Serta kepercayaan kepada Tuhan bagi tiap- tiap individu disertai dengan perlindungan terhadapa hidupnya ajaran- ajaran agama yang ada di Indonesia, hal ini terinspirasi  dengan “Piagam Madinah”. Tapi apa yang terjadi agama disamakan dengan partai, isu agama merupakan alat yang jitu untuk merebut kekuasaan, menggunakan simbol agama untuk saling saleh- salehan hingga merebut simpatik rakyat ataupun penebaran Fitnah dengan atas nama agama untuk menjatuhkan pemikiran tokoh yang di anggap berbahya pada strategi politiknya adalah strategi jitu merebut kekuasaan.
68 Tahun Pancasila mengalami ujian sejarah, ini lah yang di maksud dengan dialektika sejarah, akan tetapi ternyata Pancasila tidak lantas hilang, kesadaran Pancasila kembali didengungkan, kembali kepada Pnacasila adalah jalan keluar segala problema. Dasar ini sangguh kokoh bahkan ambisi politik yang  memojokkan Pancasila tidak akan sampai membunuh Pancasila, karena Pancasila bukan merupakan retorika politik yang bertahan hanya sebentar, karena Pancasila adalah puncak “Kesadaran Bangsa Indonesia”.


0 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 Iyunk | TNB