RUMAH KITA "PANCASILA"
Fakhrisya Zalili Sailan
Sebelum memulai mengemukakan gagasannya tentang dasar Negara Bung Karno menyerukan
bahwa kemerdekaan yang ada di depan mata pada waktu itu bukan kemerdekaan
Indonesia secara utuh, akan tetapi kemerdekaan itu adalah awal memerdekakan
hati masing –masing individu bangsa Indonesia dengan menggunaka arah filosofis
yang jelas dan satu. Dan seperti yang di kemukakan Habibie, bahwa sekarang
Pancasila seperti terpojok dalam sudut gelap di antara sengitnya tarik ulur
politik, dan itu terjadi setelah Reformasi, beliau tidak menafikan peranan
massa Orde Baru dalam menghadirkan Pancasila hanya sekedar simbol
mempertahankan kekuasaan, sehingga gagasan dari berjuta kepala rakyat Indonesia
seperti terkurung dan hanya mampu dipendam, dan keadaan Negara yang seperti itu
kemudian menyebabkan gelombang eksploitasi yang tidak tampak dipermukaan.
Neokolonialisme mampu menguasai bangsa Indonesia melalui aktor- aktornya yang
duduk dalam kabinet waktu itu. Jatuhnya Soeharto pada bulan mei tahun 1998
tidak lantas mengubah kondisi Indonesia yang lebih sejahtera apalagi
mengembalikan Pancasila kepada Filosofis dasarnya, karena watak kepemimpinan
Orde Baru ternyata telah mendarah daging pada siapa saja yang diserahi
kepercayaan untuk memimpin bangsa. Bahkan aktivis yang getol memperjuangkan
Orde Baru, pulang kampung dan mendirikan basis massa di daerah, ataupun sekte
agama dan kelompok, baik dalam bentuk partai, LSM, Ormas bahkan lembaga dakwah
sekalipun untuk melanggengkan ambisi politik. Kondisi seperti ini alih- alih
memperbaiki kondisi hidup masyarakat malah telah memunculkan konflik horizontal
yang puncaknya kita rasakan saat ini, ini adalah buah dari ambisi politik, orde
baru diganti dengan orde baru dengan aktor yang berbeda untuk memperhalus
kondisi yang tidak berubah ini, para tokoh politik menyebutnya massa “transisi
demokrasi”, menumbuhkan kemerdekaan pada tiap-tiap hati bangsa Indonesia pun
belum terwujud hingga sekarang. Keadaan seperti ini mirip pada dengan keadaan
pasca revolusi Prancis sebelum Gramsci, Horkheimner, maupun Muhammad Arkokun
menekanan “character building” melalui teori kritis Aufklarungnya. Beberapa
Tahun terakhir setelah masyarakat semakin sadar akan kondisi hidup yang semakin
mengenaskan seketika itu juga kesadaran akan hilangnya nilai- nilai Pancasila
dan upaya mengembalikannya. Bung Karno sebagai “Penggali Pancasila”
mengemukakan dasar fundamental atau yag kita kenal dengan Pilar Kebangasaan,
yang kemudian menyederhanakan lima dari pnacasila menjadi tiga atau yang kita
kenal dengan nama trisakti terdiri dari socio- nationalism, socio- democratie
dan ke- Tuhanan.
SOOCIO-NATIONALISM
Socio-
nationalism yang bila di pilah- pilah terdiri dari kebangsaan dan
internasionalime yang disebutakan dalam sila ke 2 dan ke 3 Pancasila. Yang di
maksud Bung Karno dengan kebangsaan adalah kesatuan suku- suku yang ada di
Indonesia, baik itu suku bugis, Madura, sunda, bali, dayak dan ratusan lainnya
suku di indonesia dalam lingkup bangsa Indonesia, kebangsaan Indonesia
merupakan kesatuan dari setiap individu yang hidup di pulau- pulau yang
bertebaran di antara samudera Hindia dan Samudera Atlantik inilah yang beliau
katakana sebagai Geopolitik Indonesia. Beliau menyebutkan bahwa kebangsaan
Indonesia hanya mampu diidirikan oleh kerajaan Sriwijiya, Majapahit, dan
“seharusnya” NKRI sekarang ini. Otonomi daerah, yang kemudian berefek pada
pemilahan langsung Kepala Daerah yang kemudian para “raja- raja” kecil di
daerah menggunakan kekuatan suku sehingga menimbulkan rasa curiga- mencurigai
satu sama lainnya adalah sosok yang paling bertanggung jawab akan terkikisnya
kebangsaan ini.
Yang
berikutnya adalah Internasionlism, yang beliau maksudkan dengan
Internasionalime adalah keberdaaan Bangsa Indonesia tidak mengesampingkan
adanya bangsa- bangsa lain yang patut dihormati. Kontribusi bangsa Indonesia
dalam memajukan kehidupan masyarakat internasional adalah bagiamana menwarkan
pancasila pada setiap bangsa di Negara- Negara belahan dunia, beliau
mempraktekkannya ketika mengajak Asia- Afrika untuk menerapkan sistem
Berdikari, karena pada saat neoliberalism melalui sistem kapitalisme nya
menjadikan negra Asia- afrika dijadikan Negara konsumen yang sampai saat ini
malah Indonesia adalah Negara kosumtif terbesar, utang luar negeri serta
ketergantungan pada investor asing, ekspoiltasi habis- habisan pada SDA
Indonesia merupakan penyebab utamanya, ternyata pemimpin Negara bisa dikatakan
“cacat” konsep dalam menyusun kontrak, HPH, dan alih fungsi lahan pada masa
transisi demokrasi, dan utang luar negeri Orde Baru merupakan pihak yang paling
bertanggung jawab. Alih- alih memiliki rasa bersalah para kroni yang memiliki
kekayaan besar pada zaman Orde Baru malah hendak bersaing dalam catur
perpolitikan, tidak heran suatu ketika bangsa kita akan di jual oleh Mereka.
SOCIO-DEMOCRATIE
Di
tegaskan dalam sila ke 4 dan sila 5, dalam mengemukakan pendapatnya tentang
bentuk demokrasi Indonesia yang akan datang beliau terlebih dahulu mengkrtik
sistem demokrasi barat, yang meskipun dalam Negara- Negara barat terdapat Badan
Perwakilan akan tetapi yang bisa duduk dalam lembaga perwakilan adalah mereka
yang memiliki modal atau biasa disebut “kaum burjois”, yang kemudian perbedaan
kelas antara Kapital dan kelas pekerja tak terelakkan, bahkan eksploitasi terhadap
kelas pekerja merupakan cirri khusus demokrasi barat. Demokrasi yang dimaksud
Bung Karno adalah musyawarah, kesepakatan yang di ambil berdasarkan perundingan
di antara semua elemen masyarakat apakah itu kaum pemodal maupun kaum pekerja
semua harus terlibat dalam musyawarah sehingga semua kepentingan terakomodasi.
Kita bandingkan dengan keadaan Orde Baru maupun Pasca Orde baru, demokrasi khas
yang diharapakan Bung Karno tidak terwujud. Bentuk pemerintahan aritokrasi yang
menerpakan control totaliter yang tidak mengizinkan oposisi, kalaupun ada
oposisi maka pemusnahan pemikiran yang
bertolak belakang itu segera di lakukan, maka tetap saja kondisi lembaga
permusyawaratan terdiri dari dua kelas yaitu penguasa dalam hal ini pemerintah
dan budak dalam hal ini rakyat pribumi. Pada massa Reformasi hal ini tidak
berbeda jauh, membludaknya partai yang tentunya membutuhkan pembiayaan
mengadakan kerja sama dengan pengusaha, pengkaderan yang lemah, serta terburu-
buru untuk berkuasa menyebabkan partai seperti perusahaan penjual kendaraan
menuju kekuasaan, maka yang terjdai mereka yang duduk dalam lembaga perwakilan
adalah pengusaha atau setidaknya kader partai yang memiliki “utang budi” kepada
pemodal, maka lembaga perwakilan bukan tempat memusyawarahkan konsep untuk
kesejahteraan rakyat, akan tetapi tarik ulur kepentingan dan kelanggengan
kekuasaan.
Keadilan
sosial, merupakan satu- satunya alternative untuk memberikan kedudukan bagi
merekea yang menang kulaitas serta loyal dengan kepentingan rakyat, artinya
rakyat tidak mudah memperdagangkan
kehidupannya untuk lima tahun hanya karena amplop yang diberikan. Hal ini dapat
di capai ketika character building di kedepankan melalui pendidikan. Sepertinya
teoti kritis aufklarung merupakan jalan keluar, konsentrasi terhadap pedidikan
yang menwarkan epistemolgi yang plurisme tidak bekerja di bawah dogma
pendidikan bersifat filosofis bukan teknis satu- satunya jalan sehingga
“pencucian otak” tidak dilakukan oleh pengkhianat kedaulatan rakyat. Dan tidak
ada gunanya apabila hanya sebagian besar atau hanya sebagian kecil yang
memproleh pendidikan, maka pendidikan harus terjangkau oleh semua kalangan.
Yang berikutnya tentang sosialisme di mana semua orang memiliki pekerjaan yang
layak dan memiliki jaminan sosial bagi mereka yang kurang beruntung, lahan
untuk petani, dan tempat tinggal yang layak serta makanan yang sehat bagi semua
masyarakat Indeonesia. Akan tetapi dengan pertimbangan devisa Negara yang entah
kemana perginya,permintaan penguahas lebih di utamakan dibanding kesejahteraan
rakyat oleh “bapak- bapak” kita disenayan.
KETUHANAN
Termanifestasi
dalam sila pertama, Bung Karno mengemukakan bahwa bangsa Indonesia harus memiliki
Tuhan, karena ketauhidan akan memberikan jiwa dan moralitas pada tiap individu
dan akhirnya pada keberadaan bangsa, beliau tidak menolak apabila Indonesia
hendak menggunakan hukum Islam asalkan melalui kesepakatan dengan agama lain.
Serta kepercayaan kepada Tuhan bagi tiap- tiap individu disertai dengan
perlindungan terhadapa hidupnya ajaran- ajaran agama yang ada di Indonesia, hal
ini terinspirasi dengan
“Piagam Madinah”. Tapi apa yang terjadi agama disamakan dengan partai, isu
agama merupakan alat yang jitu untuk merebut kekuasaan, menggunakan simbol
agama untuk saling saleh- salehan hingga merebut simpatik rakyat ataupun
penebaran Fitnah dengan atas nama agama untuk menjatuhkan pemikiran tokoh yang
di anggap berbahya pada strategi politiknya adalah strategi jitu merebut
kekuasaan.
68
Tahun Pancasila mengalami ujian sejarah, ini lah yang di maksud dengan
dialektika sejarah, akan tetapi ternyata Pancasila tidak lantas hilang,
kesadaran Pancasila kembali didengungkan, kembali kepada Pnacasila adalah jalan
keluar segala problema. Dasar ini sangguh kokoh bahkan ambisi politik yang memojokkan Pancasila tidak akan sampai
membunuh Pancasila, karena Pancasila bukan merupakan retorika politik yang
bertahan hanya sebentar, karena Pancasila adalah puncak “Kesadaran Bangsa
Indonesia”.
0 komentar:
Posting Komentar